Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ekonomi RI Dihadapi Badai, Mulai Tekanan Global hingga Kebijakan Dalam Negeri yang Mencekik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini disebut masih dilanda badai yang sempurna atau the perfect storm.

Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
zoom-in Ekonomi RI Dihadapi Badai, Mulai Tekanan Global hingga Kebijakan Dalam Negeri yang Mencekik
Tribunnews/Endrapta
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini disebut masih dilanda badai yang sempurna atau the perfect storm.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira, badai tersebut seperti tekanan global dari perang dagang yang muncul imbas terpilihnya kembali Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS).

Perang dagang tersebut bisa mengganggu rantai pasok, menekan kinerja ekspor Indonesia, dan menurunkan daya saing RI.

Baca juga: Cerita Prabowo Ditantang Pihak Luar Negeri untuk Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

"Trump buat pusing pemulihan ekonomi global karena politiknya yang serba proteksionis. Suku bunga global juga diperkirakan bisa naik kalau perang dagang meluas," kata Bhima kepada Tribunnews, Jumat (3/1/2025).

Kemudian, soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang dikhususkan untuk barang mewah, Bhima menilai hal tersebut tak cukup untuk menghindarkan Indonesia dari badai.

Sebab, masih ada sembilan kebijakan lain di dalam negeri yang dapat menekan daya beli masyarakat.

Berita Rekomendasi

"Mulai dari asuransi wajib kendaraan bermotor, opsen STNK, [iuran] tapera, sampaik kenaikan iuran BPJS Kesehatan," ujar Bhima.

Baca juga: Transformasi Sektor Transportasi Diyakini Dorong Pertumbuhan Ekonomi Lokal di Destinasi Wisata

Ia meminta pemerintah memastikan semua kebijakan fiskal yang menekan daya beli kelas menengah ke bawah dapat dibatalkan.

Upah Minimum Provinsi (UMP) yang naik sebesar 6,5 persen pun dinilai Bhima tidak mampu meningkatkan daya beli masyarakat.

Seharusnya, UMP tahun ini bisa naik sebesar 8 hingga 10 persen, sebab jika hanya 6,5 persen, tak akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi melebihi 5 persen.

"UMP 6,5 persen hanya mampu naikkan konsumsi rumah tangga Rp 43 triliun. Idealnya kemarin UMP 8-10 persen naiknya," ucap Bhima.

RI Masih Punya Peluang

Bhima memandang masih ada peluang menghadapi badai ini dari beberapa industri yang berpotensi tumbuh.

Sektor yang berpotensi tumbuh pada tahun ini adalah industri komponen energi terbarukan.

Hal itu karena Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan komitmen membangun pembangkit berbasis Energi Baru Terbaruka (EBT) dengan kapasitas 75 gigawatt (GW).

Selanjutnya adalah industri berteknologi tinggi yang berpeluang tumbuh.

Contohnya seperti baterai penyimpanan energi (Battery Energy Saving Storage/BESS), komponen panel surya, serta pembangkit angin dan air.

"Sampai dengan 2040 dibutuhkan pembangkit panel surya 27 GW, angin 15 GW, dan hidro khususnya mikro-hidro 25 GW," tutur Bhima.

Ia mengatakan BESS dibutuhkan hingga 32 GW untuk menampung energi dan pembangkit listrik intermiten.

BESS dinilai sangat dibutuhkan, misalnya untuk panel surya dan mikro-hidro. Investasinya diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS atau setara Rp 97,8 triliun dalam 15 tahun ke depan.

"Kita harus kuasai komponen baterai dalam negeri, bukan hanya berbasis nikel, tetapi juga alternatif lain seperti LFP," jelas Bhima.

Berikutnya, industri yang berpeluang untuk tumbuh adalah yang terkait dengan pembangunan transmisi grid.

Jika EBT-nya didorong, ia menyebut akan dibutuhkan transmisi baru dan upgrade transmisi existing.

Semakin cepat Indonesia melakukan transisi energi, maka rantai pasok domestiknyanya juga harus disiapkan.

Investasi yang akan masuk berpotensi menciptakan berbagai industri turunan baru.

Selain industri yang diproyeksikan untuk tumbuh, Bhima menyebut Indonesia juga berpeluang merebut relokasi industri dari China saat perang dagang di era Donald Trump kembali.

Pabrik yang menghindari kenaikan tarif biasanya mendekati asal bahan baku atau mendekati ke pasar potensial.

"Indonesia memenuhi kriteria dua-duanya, kaya bahan baku sekaligus pasar yang potensial," kata Bhima.

Hilirisasi juga bisa menjadi peluang Indonesia menghadapi badai pada tahun ini.

Hilirisasi di sektor produk perikanan dan pertanian dinilai menjadi kunci motor ekonomi yang prospektif pada tahun ini.

"Isu pangan, baik untuk pemenuhan program MBG maupun kebutuhan domestik dan ekspor, masih menjadi champion, asalkan punya nilai tambah," pungkas Bhima.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas