Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Virus Corona dan Sejarah Berulang, Apa yang Terjadi Setelah Wabah Berakhir?

Tetapi sejarah yang kali ini berulang tidak seperti yang dikatakan Marx, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.

Editor: Daryono
zoom-in Virus Corona dan Sejarah Berulang, Apa yang Terjadi Setelah Wabah Berakhir?
Grafis Tribunnews.com/Ananda Bayu S
Virus Corona 

Dahulu, wabah Justinian, menjadi titik awal kemunduran Kekaisaran Romawi Timur, karena merosotnya perekonomian dan pelemahan kekaisaran. Menurut Randolph Stilson, Black Death, pandemik kedua, mengakhiri abad feodalisme di Eropa.

Walter S Zapotoczny dalam The Political and Social Consequences of the Black Death, 1348 – 1351 (2006) menulis, Black Death sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke 14 dan 15.

Apa yang akan terjadi sekarang ini setelah wabah Covid-19, berakhir? Akan menjadi seperti apa negara-negara yang terkena wabah Covid-19 nanti, seperti China, Italia, Iran, Korea Selatan, dan Perancis, juga negara-negara lain, termasuk Indonesia?

Apakah pandemi Covid-19 akan mampu, misalnya di negeri ini, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian), lebih mementingkan diri sendiri di tengah penderitaan yang menghinggapi sementara orang bahkan elite politik, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik?

Apakah pandemi Covid-19 ini akan mampu mengubah sifat orang yang senang menari di atas penderitaan orang lain dan memunculkan sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya?

Apakah pandemi  Covid-19, akan mampu mengubah orang di negeri ini, yang dalam bahasanya Syafii Maarif—larut dalam pragmatisme politik yang tunamoral dan tunavisi—menjadi bermoral dan bervisi?  Mampukah, “derita nasional” ini menyadarkan orang untuk membuang jauh-jauh pragmatisme politik yang cenderung menghalalkan segala cara termasuk transaksional dalam panggung politik?  

Padahal, bukankah, pada dasarnya, manusia seperti dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM), adalah Homo homini deus est, si suum officium sciat—manusia adalah dewa bagi manusia yang lain jika ia mengetahui kewajibannya. Mengapa demikian, sebab sifat compassion, welas asih, bela rasa tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan; alih-alih dimotivasi oleh kepentingan pribadi.

Baca: Kasus Corona Mengalami Lonjakan di Thailand, Jumlah Kematian Tertinggi di Italia

Berita Rekomendasi

Orang yang benar-benar manusiawi, secara konsisten berorientasi pada orang lain, bukan selalu beroritentasi pada diri sendiri, kepentingan diri sendiri dalam segala macam bentuknya. Hanya orang-orang yang tunamoral, tuna-etika yang mengingkari semua itu. Mereka itu, golongan “Black Death” yang perlu dibasmi karena membawa dunia sekitar kita menjadi hitam kelam.

Sejarah akan selalu berulang. Demikian juga di setiap zaman akan selalu muncul manusia (orang-orang) yang mementingkan diri sendiri, yang mencari keuntungan di tengah kebuntungan orang lain, yang tidak memiliki nilai-nilai keutamaan seperti bela rasa. Mereka ini tidak peduli meski digolongkan sebagai bagian dari Black Death. Karena seperti dikatakan Plautus (251-184 SM), homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Padahal yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan, solideritas, dan saling menolong. *

Redaksi: Tulisan ini berasal dari artikel di triaskun.id  berjudul Sejarah Berulang diunggah atas persetujuan penulis.

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas