Pakar dari UI Ungkap Perbedaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Social Distancing: Ada Hukum
Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Pandu Riono ungkap bedanya pembatasan sosial berskala besar dan social distancing atau physical.
Penulis: Ifa Nabila
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengungkap perbedaan pembatasan sosial berskala besar dengan social distancing.
Sejak virus corona awal menyebar di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang mengimbau masyarakat untuk social distancing yang kemudian menjadi physical distancing.
Kemudian Jokowi menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar pada Selasa (31/3/2020).
Dalam tayangan YouTube KOMPASTV, Rabu (1/4/2020), Pandu menjelaskan perbedaan pembatasan sosial berskala besar dengan kebijakan yang sebelumnya.
"Pak Pandu, orang kemudian berkata bahwa apa sih yang disebut sebagai skala besar, sekolah libur, kantor berupaya diliburkan semua, beribadah bahkan dari rumah," ujar pembawa acara Bayu Sutiyono.
"Kita kan merasa 'Ini kan sudah?'. Apa yang kemudian bisa lebih besar lagi dari apa yang sudah sebenarnya kita lakukan selama hampir 2,5 minggu ini?" tanya Bayu.
Menurut Pandu, yang membedakan pembatasan sosial berskala besar dari kebijakan sebelumnya adalah skala penerapan serta dasar hukumnya.
Baca: UPDATE Corona 1 April di Indonesia: Total 1.677 Kasus Positif, 157 Meninggal Dunia, 103 Sembuh
Baca: Update Corona 1 April Pukul 16.00 WIB: Total 860.927 di 203 Negara, Angka Kematian di Italia 12.428
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Penerapan pembatasan sosial berskala besar harusnya secara total ke seluruh wilayah Indonesia, tak hanya di kota besar.
"Memang kita terlambat memberlakukan deklarasi (darurat) kesehatan masyarakat," jawab Pandu.
"Tapi pilihan ini harus segera diimplikasikan secara ketat dan di skala nasional, bukan hanya Jakarta, bukan hanya di seluruh ibu kota provinsi saja," terangnya.
"Tetapi mencakup seluruh Indonesia."
Selain itu, ada dasar hukum dalam kebijakan baru ini sehingga bagi siapa saja yang melanggar akan dikenai hukuman.
"Ada dasar hukumnya untuk melakukan tindakan-tindakan hukum bagi mereka yang melanggar," ucap Pandu.