ICJR: Ketakutan Masyarakat Terhadap Napi Asimilasi Berlebihan
Menurut catatan ICJR, peluang narapidana melakukan tindak kejahatan yang terulang di Indonesia relatif kecil.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat jumlah pengulangan kejahatan para terpidana yang dilepas masih terbilang minim.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, dari sekitar 35 ribu napi dan anak yang dilepas melalui program asimilasi dan integrasi, tercatat hanya 19 terpidana asimilasi yang kembali menjadi residivis sampai 16 April 2020.
“Itu artinya hanya sekitar 0,0005 persen,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, Sabtu (18/4/2020).
Menurut catatan ICJR, peluang narapidana melakukan tindak kejahatan yang terulang di Indonesia relatif kecil. Itu, dia mengatakan, dengan melihat data tiga tahun terakhir.
Baca: UPDATE Corona Indonesia: 6 Provinsi Jumlah Pasien Sembuh Terbanyak, DKI Jakarta Urutan Pertama
Sejak 2017, hanya tercatat 10,18 persen dari jumlah 27 ribu narapidana yang bebas yang mengulangi kejahatannya.
Dia menambahkan, program asimilasi di masa pandemi merupakan salah satu pemenuhan hak bagi narapidana untuk tetap hidup, dan tak terpapar virus corona.
Sehingga, dia menilai, keresahan warga terhadap kehadiran napi di tengah-tengah masyarakat sebagai reaksi yang wajar, tetapi sekaligus merupakan ketakutan yang berlebihan.
Baca: Begini Aturan Pantau Hilal Awal Ramadan Saat Pandemi Corona
Dia memandang positif program asimilasi dan integrasi yang dicanangkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.
Bahkan, menurut dia, jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang menjalani program itu kurang banyak.
Menurut dia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus memperluas kategori WBP yang berhak mendapatkan asimilasi.
“Kami di posisi menilai. (Pembebasan sekitar 35 ribu napi dan anak,-red) Itu belum cukup,” kata dia.
Jika menjadikan over capacity (kelebihan penghuni) sebagai salah satu alasan perlu asimilasi pada masa pandemi sekarang ini, maka para terpidana narkotika merupakan penghuni paling dominan di semua rumah tahanan.
Selain itu, dia menambahkan, wanita hamil, anak-anak, orang tua, dan WBP yang menderita sakit kronis juga harus menjalani program asimilasi.
“Pecandu narkotika, harus keluar. (Narapidana) hamil, anak-anak dan orang tua. Yang sakit-sakitan, harus dikeluarkan,” tambahnya.
Untuk diketahui, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menerbitkan Keputusan Menkumham No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Junaedi, menambahkan sebanyak 36.708 narapidana dan anak menjalani program asimilasi dan integrasi.
Baca: Dampak Covid-19, 600 Sopir Taksi di Jepang Bakal di-PHK
Untuk dewasa, kata dia, sebanyak 34.583 menjalani asimilasi dan 1855 menjalani integrasi. Sedangkan, untuk anak ada sebanyak 809 yang menjalani asimilasi.
“Kasus yang banyak pidana narkotika di bawah 5 tahun. Jadi pidana di bawah 5 tahun tak termasuk PP 99 (Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,-red). Mereka mendapatkan hak sebagaimana pidana umum,” ujarnya.