Menkumham Yasonna: Tidak Ada Istilah Kebal Hukum Pelaksana Perppu Nomor 1/2020
tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan perppu ini tetap akan ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19, tidak otomatis menghilangkan delik korupsi atas pejabat pemerintah pelaksana Perppu.
Menurut Yasonna, tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan perppu ini tetap akan ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana perppu ini. Pasal 27 pada perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi. Pasal 27 hanya memberi jaminan agar pelaksana perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini memerlukan keputusan yang cepat," kata Yasonna dalam keterangannya, Selasa (12/5/2020).
Baca: Jokowi Minta Manajemen PSBB Tak Terjebak pada Administrasi Pemerintah
"Jangan lupa bahwa Presiden telah menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Karena itu, korupsi terhadap dana anggaran COVID-19 dapat ditindak sesuai Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan bahwa korupsi di kala bencana bisa dijatuhi hukuman mati," imbuhnya.
Sebelumnya, Pasal 27 pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sempat menjadi polemik karena dianggap memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada penyelenggara perppu.
Pasal itu menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan negara terkait COVID-19 tidak termasuk kerugian negara.
Baca: 10 Bandara Terbaik di Dunia 2020 Versi Skytrax, Bandara Changi Singapura Peringkat Pertama
Selain itu, pejabat yang terkait pelaksanaan perppu ini juga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika melaksanakan tugas dengan berdasarkan pada itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.
"Ada atau tidak ada Pasal 27, tidak ada yang namanya kebal hukum bila terjadi korupsi. Bila ditemui bukti adanya keputusan yang dibuat sengaja menguntungkan diri atau kelompoknya, tetap akan diproses di pengadilan dan ditindak secara hukum," kata Yasonna.
Baca: Menpora: Tetap Olahraga di Rumah dan Ikuti Protokol Gugus Tugas Covid-19
Yasonna menjelaskan bahwa klausul tidak dapat dituntut seperti di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
"Klausul ini juga pernah diatur dalam UU Pengampunan Pajak, UU Bank Indonesia, UU Ombudsman, UU Advokat, dan UU MD3. Bahkan beberapa pasal di KUHP juga mengatur tentang sejumlah perbuatan yang tidak dipidana," katanya.
Selain itu, Yasonna juga menyebut bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2020 diterbitkan dengan pertimbangan kondisi yang genting dan memaksa.
Baca: Legend of the Blue Sea Drama Korea Selatan yang Dibintangi Lee Min Ho Bakal Tayang di Indosiar
"Pemerintah perlu segera mengambil tindakan penting dan butuh dana besar yang mencapai Rp405,1 triliun sebagaimana disampaikan Presiden. Anggaran ini kan sebelumnya tidak ada di dalam APBN 2020, namun pandemi COVID-19 memaksa pemerintah untuk menyediakannya dengan cepat. Karenanya, perppu ini merupakan payung hukum bagi penyediaan anggaran tersebut," ujar Yasonna.
"Justru keliru bila anggaran ini langsung dikeluarkan tanpa adanya dasar hukum. Karena itulah perppu ini harus ada, untuk memastikan pengambil keputusan tidak khawatir dan tetap dipagari agar tidak bisa korupsi. Semua ini dilakukan dengan pertimbangan kepentingan rakyat, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," sambung dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBD untuk penanganan COVID-19 sebesar Rp405,1 triliun.
Total anggaran tersebut dialokasikan sebesar Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp75 trilun untuk belanja bidang kesehatan, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, serta Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Di sisi lain, Yasonna membantah anggapan bahwa perppu mengabaikan hak anggaran yang dimiliki oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Anggapan bahwa perppu ini meniadakan peran DPR tidaklah tepat. Selain itu, toh Perppu ini tetap harus melalui persetujuan DPR sebelum ditetapkan menjadi UU," kata Yasonna.
"Saya justru mengapresiasi DPR yang sepaham dengan pemerintah untuk melihat Corona ini sebagai bencana dan setuju bahwa ada kebijakan membantu rakyat yang mesti ditempuh pemerintah. Semangatnya sama, yakni untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara cepat," dia memungkasi.