Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

LSI Denny JA: Publik Kini Lebih Cemaskan Kondisi Ekonomi Ketimbang Terpapar Covid-19

Masyarakat kini lebih khawatir pada kondisi ekonominya ketimbang terpapar virus corona

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in LSI Denny JA: Publik Kini Lebih Cemaskan Kondisi Ekonomi Ketimbang Terpapar Covid-19
Tribunnews/Herudin
Suasana aktivitas jual beli di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2020). Menjelang new normal (kenormalan baru), Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan aturan ganjil genap di semua pasar yang ada di ibu kota mulai Senin pekan depan, 15 Juni 2020. Semua los atau kios di pasar hanya boleh beroperasi pada tanggal ganjil atau genap sesuai nomor yang diberikan untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). Tribunnews/Herudin 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Lembaga Riset Denny JA melakukan survei kualitatif mengenai kekhawatiran masyarakat terhadap pandemi virus corona atau Covid-19

Berdasarkan riset tersebut, masyarakat kini lebih khawatir pada kondisi ekonominya ketimbang terpapar virus corona.

Baca: Jam Operasional KRL Ditambah untuk Urai Kepadatan Penumpang

"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpapar virus corona," kata Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar melalui telekonferensi, Jumat, (12/6/2020).

Kondisi tersebut menurut Rully harus menjadi perhatian pemerintah dengan menahan agar pandemi Covid-19 tidak menimbulkan krisis ekonomi.

Karena menurutnya krisis ekonomi dapat menyebabkan krisis sosial dan politik.

"Ketika mereka mulai lapar, mereka bisa menjadi marah atau mudah dipantik untuk membuat kerusuhan sosial. Dimulai krisis kesehatan, lalu ke krisis ekonomi maka jika tidak ditangani akan mengarah pada krisis sosial dan politik," katanya.

Berita Rekomendasi

Pemerintah menurut Rully, harus kembali menjalankan roda ekonomi.

Salah satunya dengan memperbolehkan aktivitas ekonomi di masa pandemi.

Meskipun demikian menurutnya pemerintah juga harus menjaga agar penyebaran Corona tidak meluas, salah satunya dengan mendisiplinkan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.

"Jadi ketika mereka yang kemarin lapar, aktivitas ekonomi harus dimulai namun jangan sampai memicu gelombang baru, karena gelombang baru ini biasanya lebih besar ketimbang gelombang pertama," katanya.

"Kita berdoa supaya dengan pemberlakuan new normal bisa memulai roda ekonomi. Sehingga bisa kembali memiliki penghasilan," pungkasnya.

Sebelumnya Riset kualitatif LSI Denny JA tersebut dengan mengkaji data data sekunder dari Gallup Poll, Voxpopuli center, dan riset eksperimental oleh Denny JA dan Eriyanto.

Menurut Rully pada awal Maret atau setelah WHO mengumumkan Pandemi, masyarakat lebih cemas bila virus Corona akan menyerang kesehatan.

Saat itu 118 ribu warga di 118 negara dinyatakan terjangkit virus dengan angka kematian mencapai 4 ribu orang.

"Apalagi disebutkan bahwa penyebaran virus Corona lebih cepat menular ketimbang dua virus serupa sebelumnya yakni SARS dan Mers. Itu menyebabkan masyarakat lebih khawatir dengan kesehatannya," kata Rully.

Ketika WHO sudah menyatakan Pandemi, negara negara di dunia kemudian mengeluarkan kebijakan mulai dari yang berat yakni karantina atau lockdown, hingga pembatasan sebagian aktivitas.

Misalnya Italia yang menerapkan Lockdown sementara Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

"Lockdown menjadi kebijakan populis, karena didukung data berkontribusi positif dalam penurunan penyebaran, selain anjuran pakar kesehatan, juga kebijakan itu menjawab pertanyaan mengenai virus itu," katanya. 

Namun, Pembatasan pembatasan tersebut membuat pertumbuhan ekonomi merosot, karena perputaran roda ekonomi menurun.

Tidak semua industri bisa melakukan pekerjaan dari rumah.

Oleh karena itu kebijakan pembatasan tersebut mengakibatkan banyak orang di PHK.

"Ketika pertama masyarakat aware dengan corona, di bulan Juni ada turning point, kecemasan terhadap virus mulai turun, tapi kecemasan terhadap kondisi ekonomi meningkat," katanya.

Berdasarkan penelitian eksperimental Denny JA dan Eriyanto tehadap 240 mahasiswa UI yang ditempatkan pada 8 kelompok responden secara acak kesimpulannya mereka lebih takut pada dampak ekonomi. 

"Ketika diberikan treatmen mengenai dampak ekonomi mereka lebih takut ketimbang saat diberikan treatmen penyebaran virus terhadap kesehatan," katanya.

Penelitian eksperimental tersebut diperkuat  oleh hasil riset Voxpopuli Center.

Berdasarkan hasil riset 16 Mei sampai 1 Juni melalui sambungan telepon terhadap 1200 responden, masyarakat lebih khawatir terhadap dampak ekonomi ketimbang kesehatan. 

"Riset tersebut menemukan 67,4 persen lebih takut dampak ekonomi dibanding pandemi virus terhadap kesehatan yang hanya 25,3 persen," katanya.

Sementara itu kajian data lembaga riset internasional Gallup Poll yang melakukan survei di Amerika menemukan fakta bahwa terjadi perubahan kekhawatiran masyarakat dari yang awalnya takut pandemi virus menyerang kesehatan, menjadi khawatir pandemi berdampak pada ekonomi. 

"Pada bulan April , dan di minggu pertama Mei. Masyarakat di Amerika lebih banyak khawatir virus menyerang kesehatan mencapai 57 persen. Sementara yang khawatir virus berdampak pada ekonomi  Hanya 49 persen. Di pertengahan Mei atau 11-17 Mei, terjadi perubahan yakni yang khawatir terdapat dampak ekonomi 53 persen, sementara cemas terpapar virus 51 persen," tuturnya.

Baca: Ada PSBB, Penjualan UMKM Turun dan Kesulitan Modal

Dari kajian terhadap tiga data Sekunder itu menurut Rully, LSI Denny JA menyimpulkan bahwa masyarakat kini lebih khawatir pandemi Corona berdampak pada ekonominya, ketimbang pada kesehatannya.

"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpapar Corona," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas