Hasil Studi di Inggris Tunjukkan Efek Samping Menggabungkan Vaksin Pfizer dan AstraZeneca
Penelitian di Inggris menemukan bahwa orang yang mencampurkan dosis vaksin Pfizer-BioNTech dan Oxford-AstraZeneca memunculkan dampak lebih buruk
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Beberapa negara Eropa seperti Prancis, Jerman dan Inggris merekomendasikan pencampuran vaksin dalam kapasitas tertentu.
Saran yang paling sering adalah bahwa orang yang lebih muda dan telah mendapatkan dosis pertama vaksin Oxford-AstraZeneca harus menerima dosis yang berbeda untuk suntikan kedua.
Kebijakan tersebut berasal dari kekhawatiran tentang adanya dampak pembekuan darah tidak biasa yang diidentifikasi terjadi pada segelintir orang yang telah menerima vaksin Oxford-AstraZeneca.
Menjelaskan hasil tersebut, Peneliti studi ini Profesor Oxford Matthew Snape mengatakan bahwa efek samping yang ditimbulkan dari pencampuran vaksin yang berbeda ini 'kurang lebih sama' dengan jenis reaksi yang biasa dilihat pada peserta vaksinasi Covid-19.
"Hanya saja terjadi lebih sering, dan gejalanya hilang dalam waktu 48 jam," kata Profesor Snape.
Sementara itu para Ilmuwan mengatakan bahwa tidak ada orang yang dirawat di rumah sakit pasca mengalami efek samping dari penggabungan vaksin tersebut.
Kendati demikian, Profesor Snape kemudian menyampaikan bahwa saat ini masih belum diketahui apakah penggabungan vaksin ini dapat memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap Covid-19.
Baca juga: Hasil Penelitian Jepang: Vaksin Pfizer Dapat Mencegah Infeksi Mutan Covid-19 Inggris
Baca juga: Selain Batch CTMAV547, Kemenkes Pastikan Vaksin AstraZeneca Aman Digunakan
Munculnya dampak seperti rasa lelah yang parah dan cukup serius sehingga membutuhkan penanganan dokter, kata dia, ditemukan pada sekitar 10 persen peserta saat pencampuran dosis vaksin.
Namun Profesor Snape mencatat bahwa ini adalah hasil sementara dari studinya dan tidak ada analisis statistik yang dilakukan terhadap angka-angka tersebut.
Perlu diketahui, penelitian ini dilakukan pada peserta vaksinasi berusia di atas 50 tahun, dan vaksin pun diberikan dengan interval empat minggu.
"Ada kemungkinan pencampuran vaksin akan menunjukkan reaksi lebih parah pada kelompok usia lebih muda, yang umumnya mendapatkan lebih banyak efek samping," papar Profesor Snape.
Temuan yang diterbitkan sebagai surat di jurnal peer-review The Lancet pada hari Kamis lalu ini berasal dari studi Com-COV.