Mengapa WHO Sebut Varian B.1.617.2 Sebagai Delta? Ini Penjelasannya
WHO mengumumkan pada 31 Mei lalu bahwa mereka akan memberikan sebutan baru untuk varian baru virus corona menggunakan alfabet Yunani.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pada 31 Mei lalu bahwa mereka akan memberikan sebutan baru untuk varian baru virus corona (Covid-19) 'yang menjadi perhatian', menggunakan alfabet Yunani.
Ini dilakukan tidak hanya untuk menghindari 'kebingungan' terkait nama yang saat ini digunakan secara luas oleh beberapa jenis varian Covid-19.
Namun juga untuk mencegah agar varian ini tidak disebut berdasar pada lokasi di mana kali pertama ditemukan, seperti varian Inggris, Afrika Selatan atau India.
Baca juga: Virus Corona Varian Delta Disebut Lebih Menular dan Berbahaya Dibandingkan Alpha
Baca juga: Varian Delta Ditemukan Pada Kasus Baru Covid-19 di Victoria Australia
Karena penyebutan berdasar lokasi temuan berisiko menimbulkan stigma berbahaya mengenai negara tertentu dan dapat menimbulkan kebingungan jika pada akhirnya suatu negara ternyata memunculkan lebih dari satu 'varian mengkhawatirkan'.
Oleh karena itu, WHO pun telah menetapkan nama varian B.1.617.2 sebagai 'Delta'.
Kendati disebut sebagai Delta, para ilmuwan akan terus menggunakan nama alfanumerik yang lebih rumit untuk 'menamakan' varian Covid-19, termasuk jika kemudian muncul varian baru lainnya.
Sedangkan WHO berharap nama berbasis huruf Yunani akan menjadi pilihan yang banyak digunakan di kalangan non-ilmuwan.
Perlu diketahui, varian Delta disebut memiliki beberapa mutasi yang tampaknya memberikan 'keunggulan tertentu' dibandingkan strain lainnya.
Keunggulan nyata yang harus menjadi perhatian adalah bahwa mutasinya dapat membuat strain lebih mudah menular, ini juga akan menjadikannya sebagai varian yang paling berbahaya.
Dikutip dari laman New York Magazine, Rabu (9/6/2021), sebuah studi menunjukkan bahwa B.1.617.2 kemungkinan memiliki risiko menular lebih besar yakni mencapai 50 persen jika dibandingkan varian B.1.1.7 (Inggris/Alpha).
Seorang Ahli Epidemiologi terkemuka di Imperial College London sekaligus salah satu Penasihat utama pandemi untuk pemerintah Inggris, Profesor Neil Ferguson mengatakan bahwa varian ini 60 persen lebih mudah menular dibandingkan Alpha.
Bahkan lebih menular jika dibandingkan jenis asli virus corona yang muncul kali pertama di China pada akhir 2019.
Ini yang membuat para ilmuwan meyakini bahwa Delta menjadi varian dominan secara global.
Saat gelombang infeksi Covid-19 melanda Inggris selama akhir pekan lalu, Menteri Kesehatan negara itu, Matt Hancock mengatakan bahwa varian Delta diperkirakan 40 persen lebih mudah menular dibandingkan varian Alpha.
Sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah India bahkan telah menemukan bahwa Delta sejauh ini telah menjadi strain paling dominan di India.
Sementara provinsi Guangdong di China telah menerapkan sistem penguncian (lockdown) tingkat daerah untuk mencoba mengendalikan peningkatan kasus yang sebagian besar didorong oleh kemunculan varian yang sangat menular ini.
Intinya adalah jika penelitian pendahuluan ini benar-benar akurat, maka varian Delta akan segera menjadi strain Covid-19 paling dominan di dunia dan menyebabkan penyebaran wabah yang begitu cepat di negara-negara yang tidak didukung tingkat vaksinasi yang tinggi.