Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Presiden Jokowi Minta Harga PCR Turun, Legislator PAN Dorong Permenkes Segera Diterbitkan

Intan meminta agar Pemerintah segera menindaklanjuti dan memberlakukan peraturan tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR Swab

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Presiden Jokowi Minta Harga PCR Turun, Legislator PAN Dorong Permenkes Segera Diterbitkan
Tribunnews.com/Vincentius Jyestha
Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi merespons positif pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin harga tes PCR diturunkan menjadi antara Rp450.000 hingga Rp550.000, serta hasil PCR dipercepat maksimal menjadi 1x24 jam.

Menurut Intan, harga tes PCR memang sudah semestinya diturunkan, mengingat kepentingan testing dan tracing sangat penting untuk menekan penularan COVID-19 di masyarakat.

"Menurut saya memang seharusnya biaya pemeriksaan murah, karena pandemi ini salah satu kuncinya adalah testing dan tracing.

Alokasi anggaran pemerintah untuk test dan tracing sangat besar yaitu Rp 9,9 Triliun untuk tahun 2021, sehingga seharusnya test dan tracing kepada lingkaran pasien positif bisa dilakukan gratis.

Apalagi bagi masyarakat yang mau melakukan test PCR mandiri, wajib diberlakukan tarif murah," kata Intan Fauzi, kepada wartawan, Minggu (15/8/2021).

Intan Fauzi mendorong agar pernyataan Presiden tersebut diaktualisasikan dalam bentuk aturan turunan yang jelas dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan bukan hanya Surat Edaran seperti Antigen yang lalu.

Baca juga: Kejaksaan Negeri Bintan Musnahkan Barang Bukti, Mulai dari Narkoba Sajam hingga Ponsel

Berita Rekomendasi

Sebab, harga PCR yang terjangkau adalah kebutuhan mendesak di masyarakat.

"Arahan Presiden agar ada harga tertinggi untuk PCR maupun antigen harus dipercepat dengan menetapkan dalam peraturan sehingga mengikat.

Biasanya terjadi kendala pelaksanaan di lapangan harga masih beragam dan tinggi karena tidak ada aturan yang jelas.

Saya meminta agar Pemerintah segera menindaklanjuti dan memberlakukan peraturan tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR Swab. Jika tidak, ini hanya sebatas pernyataan," beber legislator PAN ini. 

Pasalnya, Intan mencontohkan harga batasan tertinggi rapid tes antigen yang dimuat dalam SE Dirjen Pelayanan Kesehatan (Yankes) Kemenkes Nomor HK.02.02/1/4611/2020, dalam SE tersebut ditetapkan batas harga tertinggi di Pulau Jawa Rp250.000 dan di luar Pulau Jawa Rp270.000. 


Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, pada awalnya aturan ini tak sepenuhnya terlaksana, padahal dalam prosesnya sudah melibatkan kajian BPKP dan diberlakukan sebagai aturan perjalanan.

"Harga ambang batas antigen dituangkan dalam SE Dirjen Yankes, sehingga pengawasan lemah," tutur Intan Fauzi

Lebih lanjut, Intan mengungkapkan, Komisi IX DPR sudah kerap mengingatkan Kemenkes soal rendahnya serapan anggaran diagnostik (pemeriksaan dan pelacakan), yang seharusnya bisa dilakukan maksimal.

Anggaran diagnostik Tahun 2021 tak sedikit, dengan rincian untuk testing sebesar Rp 9,3 T dan tracing Rp 600 miliar namun serapan rendah.

Data Per 29 Mei 2021 saja, realisasi anggaran testing dan tracing hanya Rp 152, 11 Miliar atau hanya sekitar 2,50 Persen. 

"Anggaran besar, tapi realisasi atau serapan anggarannya selalu rendah.

Tracing juga sangat tidak maksimal karena WHO mensyaratkan jika satu orang positif maka harus dilakukan pelacakan minimal 30 orang yang melakukan kontak erat," ujar legislator dapil Jabar VI ini.

Intan menilai salah satu kendala di Indonesia terkait PCR adalah karena mesin real time PCR, reagen-kit dan PCR test kit masih tergantung impor.

Hal ini salah satu faktor yang membuat harga PCR melambung tinggi. 

Kalaupun ada test kit produksi dalam negeri, Intan mengatakan hal itu belum bisa memenuhi kebutuhan massal.

Baca juga: Minta Pemerintah Bebaskan Pajak Alkes, Obat-Obatan hingga test PCR, IDI: Jangan Bebani Orang Sakit

Demikian  juga importirnya dimana para pelaku usahanya masih terbatas, sehingga mengakibatkan biaya tinggi dan masyarakat yang terbebani.

"Standardisasi Lab yaitu wajib Bio Safety Level 2 harus, mengingat hal ini adalah alat diagnosa infeksi virus menular.

Namun sudah saatnya Alat Kesehatan kita tidak tergantung impor. Kita memiliki BUMN Farma, salah satunya Indofarma, yang berdiri tahun 1918 jauh sebelum kemerdekaan RI, namun produksi alkes masih rendah dan terbatas, saat ini hanya bisa merakit dan yang diproduksi baru sebatas tempat tidur RS dan lainnya.

Kita harapkan produsen Alat Kesehatan dalam negeri harus lebih produktif sehingga di bidang kesehatan dan penanganan pandemi, Indonesia tidak bergantung kepada produk luar negeri yang ujungnya biaya tinggi sehingga membebani rakyat ," urai Ketua Umum Perempuan Amanat Nasional (PUAN) ini.

"Saya yakin baik BUMN atau swasta yang bergerak di bidang Alkes bisa mengejar ketertinggalan itu," pungkasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas