Pemerintah Targetkan 100 Juta Vaksin Dosis Ketiga Pada Tahun Depan Untuk Masyarakat
Beberapa negara seperti Amerika, Inggris dan Israel sudah melakukan vaksin Covid-19 dosis ketiga atau booster.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Beberapa negara seperti Amerika, Inggris dan Israel sudah melakukan vaksin Covid-19 dosis ketiga atau booster.
Namun menurut Pelaksanaan Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu, hal itu tidak menjamin.
"Memang tidak jadi jaminan karena kita tahu bersama adanya mutasi dan varian baru dan penularan masih terjadi cukup tinggi. Kita tahu Amerika melihat kasus sekarang bisa perhari 153 ribu perhari," ungkap Maxi dalam diskusi secara virtual melalui kanal YouTube FMB9ID, Selasa (7/9/2021).
Di Indonesia memang baru tenaga kesehatan yang mendapatkan booster.
Baca juga: Data Pemerintah Ungkap 94 Persen Pasien Covid-19 yang Meninggal Dunia Belum Divaksin
Karena nakes memang diprioritaskan sebab berisiko lebih tinggi alami penularan Covid-19.
Namun Maxi menyebut jika pemerintah punya program untuk tahun depan. Program ini merupakan skema untuk melakukan booster.
Dengan syarat, sudah melakukan vaksin dosis pertama dan kedua.
"Skema ini sudah kami buat. Sekalipun pemerintah tidak mampu melakukan pembayaran untuk semua penduduk seperti sekarang ini," katanya lagi.
Pemerintah, kata Maxi menargetkan mereka yang mendapatkan booster adalah masyarakat kurang mampu secara ekonomi.
Baca juga: Ini Cara Cek & Unduh Sertifikat Vaksin Covid-19 di pedulilindungi.id atau Aplikasi PeduliLindungi
Misalnya mereka yang menerima Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Pemerintah tidak mampu melakukan pembayaran itu semua sekaligus seperti sekarang ini.
Jadi kita akan prioritaskan terutama yang masuk di BPJS itu penerima bantuan iuran, berarti masyarakat miskin tapi jumlahnya cukup banyak hampir 100 juta," ujar dia
Di sisi lain, peraturan ini tentunya disesuaikan dengan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
"Dalam perkembangan akan terus menyesuaikan. WHO sebenarnya belum mengizinkan.
Bukan tidak boleh secara medis. Tapi secara kesetaraan. Masih banyak masyarakat di dunia ini yang belum divaksin," paparnya lagi.