Status Pandemi Covid-19 Dapat Dicabut Jika Memenuhi Kriteria Ini
Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebutkan ada kriteria status pandemi dapat dicabut.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebutkan ada kriteria status pandemi dapat dicabut.
Kriteria pertama jelas kalau bicara pencabutan tidak harus semua negara terkendali.
Setidaknya, kata Dicky sepertiga dari negara di dunia masuk status terkendali, ditandai dengan angka reproduksi tidak lebih dari satu.
Baca juga: Korea Utara Cabut Hampir Semua Pembatasan Covid-19, Apakah Virus Sudah Terkendali?
Positifity rate setidaknya lima persen, kemudian juga dengan kasus yang kecil, misalnya kematiannya. Mungkin satu per satu juta dalam satu bulan, atau minggu.
Kemudian kalau pun ada kesakitan tidak ada yang membebani kesehatan atau masuk di ICU. Dan meskipun angka infeksi bisa tinggi, namun tidak bergejala atau ringan.
"Tapi setidaknya tanda di atas harus menetap tiga bulan berturut-turut. Jadi bukan naik turun," ungkap Dicky pada Tribunnews, Selasa (7/6/2022).
Kemudian kriteria lain adalah bahwa dari sisi survelens Covid-19 tidak lagi dominan di antara penyakit infeksi saluran pernapasan di dunia. Bisa dibilang, trendnya semakin menurun.
Baca juga: Pakar Epidemiologi: Kenaikan Kasus Covid-19 Bisa Saja Terjadi Kembali
Kedua, dari sisi tren musiman dari gelombangnya semakin jauh jaraknya. Dahulu gelombang kasus bisa dalam rentang waktu 2-3 bulan sekali.
Kemudian dari sisi varian yang muncul, tidak ada yang mengkhawatirkan ada bersifat memperburuk. Saat ini, sub varian Omicron seperti BA.4 , BA.5 masih efektif untuk dikendalikan dengan public health.
Yaitu bisa dengan protokol kesehatan 5M dan vaksinasi. Jadi vaksinasi minimal 70 persen untuk dua dosis dunia di.
Atau di negara yang sepertiga yang sudah terkendali, vaksin dua dosis nya sudah di atas 90 persen.
Sedangkan untuk tiga dosisnya dari total populasi adalah 50 persen. Namun, kelompok rawan harus di atas 60 persen.
"Terakhir sekali masalah obat dan terapi, harus ada tersedia di layanan kesehatan. Sehingga orang yang sakit parah tidak jadi lebih parah," tutupnya.