Senator Filep: Pembangunan Wilayah Adat Belum Sesuai dengan Pemaknaan Wilayah Adat yang Sebenarnya
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan Strategi Percepatan Pembangunan di Papua, yang disebut dengan Strategi Quick Wins.
Editor: Content Writer
Seharusnya, kata dia, pembangunan melalui pendekatan Wilayah Adat sejatinya identik dengan 3 (tiga) hal mendasar yaitu masyarakat adat beserta hak-haknya, hukum adat yang mendasari keberlangsungan hidupnya, dan nilai sosiologis masyarakat adat.
Karena itu, dalam pembangunan, Filep menyarankan agar program pemerintah memfokuskan diri pada pengakuan hak-hak masyarakat adat terlebih dahulu. Apapun tipikal pembangunan yang dilakukan, jika tidak menghormati dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini pernah dirampas, maka pembangunan bisa kontra produktif, tandasnya.
“Bila perkebunan yang digencarkan, atau perikanan yang dimajukan, maka bagaimana dengan hak-hak independen masyarakat adat atas semua itu? Nanti wilayah adatnya jadi milik negara atau bagaimana? Bagaimana dengan status wilayah adat? Belum lagi bila diberlakukan UU Cipta Kerja yang bisa saja mengkudeta hak-hak masyarakat adat, misalnya terkait perizinan dan investasi bagi kepentingan nasional,” tanya Filep.
Dalam kaitan dengan hukum adat, ia mempertanyakan bagaimana pola pembangunan dalam Quick Wins itu mampu menjaga eksistensi hukum adat itu sendiri. Hukum adat Papua, seringkali memberikan batasan-batasan tertentu mengenai pengelolaan tanah dan hutan Papua.
“Nah, bagaimana hal ini bisa diakomodasi bila Pemerintah secara langsung memetakan fokus pembangunan yang akan dilakukan? Ruang ekonomi tentu dimajukan, namun di atas itu, hukum adat tidak boleh dikesampingkan, karena hal itulah yang menjadi roh hidup dalam komunitas masyarakat adat Papua,” tamba sekretaris Dewan Adat Byak Kabupaten Manokwari ini.
Sebagaimana diketahui, dalam kaitan dengan nilai sosiologis masyarakat adat, masyarakat adat Papua hidup dalam komunitas adat yang menghubungkan setiap pribadi masyarakat adat sebagai satu keluarga besar.
Dalam satu ikatan sosiologis keluarga besar, maka bentuk pembangunan yang dilakukan, diharapkan tidak mencerai-beraikan entitas keluarga itu. Karena itu, pengakuan terhadap hak-hak dasar dan martabat masyarakat adat itulah yang harus diutamakan. (*)