Isi Kuliah Umum di USK, LaNyalla: Kesenjangan Sosial Karena Oligarki Diberi Ruang Besar
LaNyalla Mattalitti menjelaskan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia disebabkan oligarki yang diberi ruang besar.
Padahal, rakyat yang seharusnya mendapat prioritas utama dalam akses ekonomi, sesuai konsepsi asli dari Ekonomi Pancasila, yang digagas oleh para pendiri bangsa.
Demikian disampaikan LaNyalla saat memberi Kuliah Umum Kebangsaan di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, yang mengambil tema, 'Berdaulat Melalui Sistem Ekonomi Pancasila', Rabu (23/3/2022).
"Negara ini memberi ruang besar kepada Oligarki, bukan kepada rakyat sebagai pemilik negara. Akibatnya, kita lihat ketimpangan sosial dan gap kekayaan sangat tinggi," katanya.
Dijelaskan oleh LaNyalla, Lembaga Internasional OXFAM yang meneliti ketimpangan sosial dan gap kekayaan, menyatakan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia.
"Indonesia saat ini adalah negara keenam dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia," tambahnya.
OXFAM juga mencatat, jumlah milyuner di Indonesia meningkat 20 kali lipat dalam 14 tahun, sejak 2002 hingga 2016 silam. Bahkan OXFAM juga menyebut dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dan kelompok lainnya di Indonesia telah berkembang lebih cepat daripada di negara lain di Asia Tenggara.
"Mengapa ini bisa terjadi? Mari kita lihat bagaimana negara ini menjalankan konsep pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pertama adalah konsep perijinan pertambangan dan konsep perijinan konsesi lahan yang diberikan negara kepada swasta sangat tidak sepadan dengan Sumber Daya Alam yang dikuras habis oleh mereka," jelas LaNyalla lagi.
Contoh konkretnya sebuah perusahaan tambang swasta hanya bermodal selembar Ijin Usaha Produksi atau IUP yang diurus dengan biaya murah, sudah menguasai ratusan hektar wilayah yang di dalamnya terdapat ratusan juta kubik ton mineral.
Lalu perusahaan tersebut listing di bursa saham, dan menawarkan kepada dunia, bahwa mereka memiliki ratusan juta kubik mineral berharga.
"Yang terjadi kemudian mereka mendapat dana cepat dari proses ijon di depan dari para pembeli saham di lantai bursa. Lalu negara hanya mendapat royalti dan bea ekspor yang masuk ke kas negara yang disebut Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Tetapi jumlahnya tidak seberapa," papar dia.
Dijelaskannya, tahun 2020 lalu Kementerian ESDM mencatat uang yang masuk ke negara dari pertambangan mineral dalam setahun sebesar 35 triliun rupiah. Padahal yang disebut pertambangan mineral itu mencakup Batubara, Nikel, Bijih Nikel, Emas, Perak, Timah, Tembaga, Granit dan lain-lain.
"Bukankah itu bisa ratusan triliun? Jadi siapa yang makmur kalau begitu. Tentu perusahaan-perusahaan itu. Yang orangnya ya itu-itu saja. Yang dekat dengan lingkar kekuasaan," tukasnya.
Begitu juga dengan pendapatan negara dari perkebunan Sawit. Negara telah memberikan ijin konsesi lahan sekitar 16 juta hektar yang sebagian besar dinikmati oleh tidak lebih dari enam perusahaan besar konglomerasi Sawit di Indonesia.
"Dari catatan yang ada, pada tahun 2020 pendapatan ke negara dari perusahaan Sawit sekitar 20 triliun rupiah. Padahal devisa ekspor perusahaan-perusahaan Sawit tersebut yang tercatat di Bank Indonesia mencapai angka di kisaran 350 triliun rupiah dalam setahun," tuturnya.
Sama juga dengan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara yang terpaksa harus membeli listrik dari Perusahaan Pembangkit Swasta dengan skema Take or Pay. Artinya PLN harus tetap ambil dan bayar, meskipun over supply di saat Pandemi dua tahun kemarin.
"Sehingga PLN babak belur, dan terpaksa menjadi perusahaan negara dengan utang terbanyak. Karena PLN memang harus berutang untuk membayar mereka para pemilik pembangkit swasta itu," lanjut dia.
Lalu bagaimana agar terwujud kedaulatan ekonomi di Indonesia. Caranya, menurut LaNyalla, dengan secara konsekuen menerapkan Sistem Ekonomi Pancasila. Sebuah sistem yang dirancang dan dirumuskan dari pemikiran luhur para pendiri bangsa ini.
"Di era Orde Lama, Orde Baru, apalagi Orde Reformasi hingga hari ini sistem itu belum secara murni diterapkan. Apalagi pada Orde Reformasi, dengan adanya Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002, kita sudah meninggalkan Sistem Ekonomi Pancasila, dan berubah menjadi negara Kapitalistik, yang menyerahkan sistem produksi dan distribusi kepada mekanisme pasar," paparnya.
LaNyalla yakin, jika Sistem Ekonomi Pancasila diimplementasikan dengan tepat, para Oligarki akan tersapu habis.
"Karena salah satu ciri utama dari Sistem Ekonomi Pancasila adalah keterlibatan aktif rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas negara ini," jelas dia.
Ketua DPD RI didampingi tiga Anggota DPD RI Aceh, Abdullah Puteh, Fachrul Razi dan Fadhil Rahmi dan Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun.
Hadir dalam acara itu Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Marwan, Rektor USK periode 2012-2022 Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, para Wakil Rektor dan Dekan, jajaran Forkopimda serta para mahasiswa USK. (*)