Komisi IX DPR Menyayangkan Banyaknya Tenaga Kerja Asing di Papua Barat
Anggota Komisi IX DPR Ayub Khan menyayangkan keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di PT SDIC Papua Cement Indonesia (PT SPCI) Manokwari.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perwakilan dari Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disduknakertrans) Provinsi Papua Barat mengakui keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di PT SDIC Papua Cement Indonesia (PT SPCI) atau disebut juga pabrik Semen Maruni, Distrik Manokwari Selatan, wilayah Papua Barat.
Kehadiran para TKA tersebut dinilai oleh Disduknakertrans telah memenuhi peraturan tentang ketenagakerjaan.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR Ayub Khan menyayangkan jenis pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh tenaga lokal itu diisi oleh TKA yang banyak berasal dari Tiongkok.
“Komisi IX sangat menaruh perhatian terkait maraknya TKA yang masuk ke negara kita, sementara masyarakat kita sendiri masih membutuhkan banyak lapangan pekerjaan. Karena itulah Komisi IX membentuk Panja TKA untuk melakukan pengawasan,” ungkap politisi Partai Demokrat ini saat kunjungan kerja ke Papua Barat belum lama ini.
Anggota DPR dari Dapil Jatim IV ini juga melihat masih lemahnya fungsi pengawasan khususnya di Kementerian Tenaga Kerja, dan juga kerja sama lintas sektoral antara Kemenaker, Kemenlu dan Imigrasi dalam membendung arus TKA terutama dari Tiongkok.
“Mereka sepertinya kurang koordinasi dan terkesan masih mengedepankan ego sektoral dan saling lempar tanggung jawab,” sergah Ayub Khan.
Ayub menambahkan, salah satu sebab lemahnya pengawasan karena Sumber Daya Manusia (SDM) di pengawasan TKA ini masih kurang, seharusnya ini perlu dianggarkan, apalagi ini terkait kebijakan bebas visa bagi 135 negara yang digulirkan pemerintah.
Kebijakan tersebut sudah seharusnya diimbangi dengan pengawasan yang lebih ketat dengan personil lebih banyak lagi.
Sebelum kebijakan bebas visa saja kita sudah banyak kecolongan apalagi sekarang, tentu dengan peningkatan anggaran dan SDMnya.
Hal senada disuarakan Anggota Komisi IX DPR Djoni Rolindrawan, para TKA yang bekerja di pabrik semen mencapai 300-700 orang bisa saja mereka masuk secara resmi (legal) dengan melalui ijin, namun dirinya yakin proses dalam memperoleh ijin itu pasti ada yang dilanggar.
“Contohnya dulu ada ketentuan harus bisa berbahasa Indonesia yang akhirnya direvisi oleh pemerintah. Lalu mengenai jabatan atau jenis pekerjaan, jika ada 300-700 TKA yang membangun pabrik semen saya yakin di situ pasti masuk juga buruh-buruh kasar, padahal aturan resminya hanya jabatan-jabatan tertentu yang bisa diisi TKA dengan harapan juga akan terjadi alih teknologi (pertukaran skill), ada juga pembatasan dengan perbandingan misal 1:10,” urai politisi Hanura ini.
Politisi asal Dapil Jabar III ini menganggap keliru jika mendefinisikan investor itu datang bawa uang lalu membuka usaha di sini sebagai PMA (Penanaman Modal Asing).
Kasus di Bayah Banten perusahaan semen Merah Putih itu milik BUMN dengan dukungan pembiayaan 75% dari kredit Bank BUMN.
Mereka mentenderkan pembangunan pabrik semen itu secara internasional lalu pemenangnya perusahaan asal China dan mereka datang dengan membawa para pekerjanya, dengan dalih para buruh Tiongkok tersebut bisa bekerja lebih cepat, disiplin dan tepat waktu ketimbang buruh lokal.
Dan ini sama persis yang terjadi di Papua Barat yaitu pembangunan pabrik semen Maruni (PT. SPCI) yang sistem proyeknya kurang lebih sama.
Perwakilan Disnaker Papua Barat menjelaskan bahwa manajemen pabrik Semen Maruni mendatangkan tenaga asing terkait pekerjaan kontruksi yang membutuhkan waktu cepat karena bangunannya spesifikasi anti gempa untuk jangka waktu panjang.
Jika pengerjaan konstruksi bangunan selesai pasti tenaga kerja lokal akan lebih banyak dipekerjakan pihak manajemen pabrik Semen Maruni, mungkin di bagian produksinya saja ada tenaga khusus.
Kalau tenaga kerja konstruksi yang ada sekarang akan pulang.
Baik Ayub maupun Djoni, keduanya sepakat bahwa penggunaan TKA dalam berbagai proyek infrastruktur harus dengan pengawasan ketat dari Kementerian terkait.
Hal tersebut agar tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat, utamanya kecemburuan sosial bagi masyarakat sekitar proyek yang seharusnya menikmati dampak terbukanya lapangan kerja.
“Karena kita negara hukum dan memiliki beberapa persyaratan yang tidak mudah terkait TKA. Taati saja sesuai aturan yang berlaku.,” pungkas Djoni. (Pemberitaan DPR RI)