Tifatul Sembiring Pertanyakan Pasal Penghinaan Terhadap Presiden
Anggota Komisi III DPR RI, Tifatul Sembiring mempertanyakan perbedaan kritikan, penghinaan dan fitnah dalam pasal penghinaan terhadap Presiden.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Tifatul Sembiring, mempertanyakan perbedaan kritikan, penghinaan dan fitnah.
Pertanyaan itu terkait pasal penghinaan terhadap presiden yang ada dalam draft RUU KUHP.
“Yang ingin saya tanyakan disini perbedaan antara kritikan, penghinaan dan fitnah dalam bahasa hukum. Sebagai seorang pejabat negara memang harus siap menerima kritikan. Namun jika fitnah, itu sesuatu yang tidak ada tapi dituduhkan,”papar Tifatul sembiring,
Tifatul bertanya kepada para pakar hukum yang menjadi pembicara dalam seminar RUU Tentang KUHP, “Evaluasi dan Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia”, yang digelar di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Ditambahkan politisi dari Fraksi PKS ini, bahwa apa yang ditanyakannya itu terkait dengan adanya pasal penghinaan yang ada dalam draft RUU KUHP.
Khususnya pasal yang tengah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat yakni, pasal Penghinaan terhadap Presiden.
Sejatinya dalam UU ITE (Informasi dan transaksi elektronik) No. 11 tahun 2008 telah tercantum pasal pencemaran nama baik.
Pihaknya setuju bahwa yang bersangkutan harus memberi penjelasan atas tindakannya tersebut.
Namun tidak cukup hanya itu. “Kalau tadi dikatakan yang bersangkutan harus memberikan penjelasan ya saya setuju atas perbuatan yang dilakukannya. Namun Internet ini kan media global dan efeknya pun global, dalam arti selama dia tidak mencabutnya, hingga seratus tahun sekalipun hal itu akan tetap ada. Berbeda dengan penghinaan di depan umum,”tambahnya.
Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani yang pada kesempatan itu menjadi moderator seminar usai acara mengatakan terkejut bahwa pasal penghinaan terhadap presiden yang ada dalam draft RUU KUHP pada kesempatan itu tidak ada yang menentang.
Padahal sejak wacana itu beredar luas, masyarakat dan beberapa aktivis politik mengkriitisi pasal yang sejatinya telah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi).
“Saya heran juga, dari pembicara yang notabene merupakan kalangan akademisi ini malah tidak ada yang menentang draft KUHP pasal Penghinaan terhadap Presiden. Padahal masyarakat dan aktivis politik pun sangat menentang hal itu, yang kalau rumusannya terlalu luas dianggap bisa mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi,”ujar Arsul.
Tadi sempat dijelaskan, lanjut Politisi dari Fraksi PPP ini, harus ada perbedaan Presiden sebagai Kepala Negara yang memang harus secure, dan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dimana Presiden sebagai warga negara biasa yang bisa mengadu karena tindakan tidak menyenangkan dari individu lain.
Pada kesempatan itu selain Pinar Patma Olcer, Associate proffesor dari Leiden University, tampil pula sebagai pembicara beberapa pakar hukum seperti, Guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajahmada, Enny Nurbaningsih, pengajar hukum pidana dari Universitas Andalas, Sinta Agustina, Guru besar Hukum Fakultas Hukum Udayana, Johannes Usfunan dan beberapa pembicara lainnya. (Pemberitaan DPR RI)