Naskah Khutbah Arafah dengan Tema Nilai-nilai Kemanusiaan Ibadah Haji
Naskah khutbah Arafah, jemaah haji wukuf di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Penulis: Nuryanti
Editor: Daryono
Mari kita tengok episode penciptaan manusia yang digambarkan Al Quran surat Al Baqarah ayat 30:
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat “Aku hendak menjadikan khalifah bumi".
Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan mensucikan namaMu".
Dia berfirman: “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Dalam ayat berikutnya Allah memberikan penegasan tentang entitas manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang memiliki keunggulan, yang memiliki kemampuan mengidentifikasi objek sekelilingnya, dan bahkan melakukan penemuan atas hal-hal yang sebelumnya tak terketahui oleh banyak orang.
Inilah kemampuan ilmiah manusia yang menjadi pembeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain.
Namun demikian, di balik keunggulan itu ada kekuatan yang selalu membisik di kanan kiri kita untuk melencengkan manusia dari jalan kebenaran.
Ini adalah miniatur manusia yang memiliki potensi untuk bertindak seperti hewan tak kenal belas kasihan melakukan kekerasan, intimidasi, dan tindakan-tindakan radikal karena ada kekuatan syaithoniyah yang akan menyesatkan manusia-manusia dari jalan yang benar.
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)".
Manusia memang dijadikan sebagai makhluk terbaik, tetapi bisa saja diturunkan derajatnya serendah-rendahnya jika kehilangan aspek kemanusiaan yang mulia.
"Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sbeaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serandah-rendahnya".
Mengapa demikian? Karena dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling berkompetisi, yaitu aspek fujur dan aspek takwa.
"Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya".
Inilah konsep manusia sebagai makhluk bidimensional yang memberi ruang untuk mengubah jalan sejarah dirinya menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah SWT.
Wukuf di Arafah seperti ini hendaknya tidak sekedar berdiam di padang Arafah.
Namun seyogyanya kita merenungkan makna yang dalam yang memberi isyarat tentang ajaran kemanusaian yang berguna bagi hidup sehari-hari kita.
Pertama, kektika kita mulai mengenakan ihram dan diikat oleh sejumlah ketentuan dan larangannya, maka hendaknya memberikan kesadaran bahwa dalam hidup ada saatnya kita memulai sebuah transformasi secara sadar menuju keadaan yang lebih baik.
Ketika kita mulai niat ihram kita memasuki dunia baru mengorbit kedekatan pada Allah SWT.
Menghindari dari perbuatan-perbuatan yang dilarang dan memasuki suasana spiritual baru, berzikir memuji kebesaran-Nya, meminta ampun segala dosa dan berharap ridla-Nya, dan berharap diterima sebagai haji mabrur.
Hidup ini sesungguhnya tak dapat lepas dari batasan ruang dan waktu miqat zamani dan miqat makani.
Ketika ada waktu-waktu tertentu kita diharuskan melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan.
Dalam hidup juga ada tempat yang wajib didatangi dan ada tempat-tempat yang harus dijauhi.
Ada usaha untuk melawan keadaan agar menjadi baik karena kehidupan dalam Islam bukanlah sebuah nihilisme yang hanya mengikuti arus sejarah secara pasif.
Allah memberikan kekuatan untuk memperoleh tempat yang lebih baik.
Kedua, ketika kita tidak boleh menggunakan wewangian selama ihram mengisyaratkan agar tidak terikat kepada hal-hal yang ornamental dalam hidup sehari-hari yang kadang dikejar hingga lupa diri.
Kita diminta untuk suatu saat menjadi diri kita sendiri tanpa ornament persis seperti kondisi kita ketika dilahirkan dan kondisi kita ketika kembali kepada-Nya.
Dalam perspektif para muqarrabin (orang-orang yang dekat pada Allah), ornamen kehidupan itu bahkan dapat membuat lupa diri dan memalingkannya dan lalai untuk mengingat Allah.
Kehidupan dunia acapkali memang penuh dengan tipu daya.
"Kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdaya."
Kadang kita menjadi terhenyak dan baru ingat akan Allah saat berada dalam kegalauan, berada dalam keterpurukan, berada dalam kondisi pailit dan lain-lain.
Ketiga, ketika kita tidak diperbolehkan untuk membunuh binatang, mencabut dan mematahkan tumbuhan, memberi isyarat kepada kita agar memiliki kesadaran terhadap ekologi dan ekosistem agar dapat hidup dengan keseimbangan saling memberi dan menerima secara harmonis.
Allah memberikan anugerah alam seisinya dengan hukum-hukumnya (sunnatullah) yang tak pernah berubah, yakni hukum kesimbangan ekologi dan ekosistem yang harus dijaga karena manusia telah menyanggupi untuk mengemban amanah mengelola alam seisinya.
Harus dilawan sikap merusak ekosistem dan ekologi yang akan menciptakan kerusakan di darat dan lautan.
Hutan yang digunduli akan berakibat banjir, produksi karbondioksida akan menciptakan efek rumah kaca dan mengakibatkan fenomena pemanasan global.
Tepatlah apa yang digambarkan Alquran ketika menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut itu tersebab oleh ulah tangan manusia.
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbautan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Keempat, ketika kita dilarang memakai pakaian berjahit memberikan makna agar kita hidup secara inklusif seperti pakaian yang dikenakan yang juga dipakai oleh banyak orang.
Sikap ini sekaligus penegasan akan spirit Islam yang menjunjung tinggi spirit egaliter, persamaan hak dan derajat dalam kehidupan sehari-hari.
Buang jauh-jauh kehendak untuk merasa dimiliki oleh banyak orang, superiority complex dan menganggap sesamanya dengan sebelah mata.
Nabi dan para sahabat telah memberi contoh akan kehidupan yang penuh kesahajaan dan sangat kontras dengan penguasa sebelumnya yang mementingkan hierarkhi dan membuat jarak yang tak terjembatani dengan rakyatnya.
Kelima, ketika kita dilarang mencaci maki dan mengucapkan kata-kata kotor memberi pelajaran agar kita dapat bersikap santun kepadasesama manusia tanpa melihat latar belakang kelompok sosial dan agamanya.
Surat Al Hujurat ayat 13 yang sering dikutip sebagai referensi untuk menjelaskan entitas manusia dan nilai-nilai perdamaian dalam Islam menyatakan:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Ungkapan khitab ayat ini yang dinyatakan dengan kata-kata ‘yaa ayyuhan-naas’ memberi pengertian Allah mengajak bicara manusia secara universal bahwa manusia diciptakan secara sosiologis menjadi berbangsa dan bersuku-suku untuk tujuan saling mengenal satu dengan sesamanya.
Bukan untuk saling membunuh, bukan untuk saling konflik satu dengan lainnya, bukan untuk saling menghujat satu dengan lainnya.
Ini semua dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat menata kehidupan yang bersifat konsolidasi internal pada periode Makkah hingga saat membuat negara Madinah yang bersinggungan dengan pihak kelompok lain yang beda agama.
Pemahaman terhadap esensi nilai-niali ibadah haji di balik yang tersurat, akan menambah kualitas diri khususnya setelah melaksanakan ibadah dan pulang ke Tanah Air.
Oleh sebagian ulama hal ini dipandang sebagai tanda-tanda haji mabrur.
Hasan Basri seorang ulama sufi abad delapan pernah menyatakan:
“Haji mabrur dapat dicapai jika pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat” dan tanda-tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.
Dengan demikian harus ada perbaikan kualitas diri menjadi lebih baik dibanding dengan sebelum haji.
Ketika Eropa bersuara lantang karena telah melahirkan masa pencerahan (enlightment) di mana manusia dianggap telah menemukan jati dirinya sebagai manusia dengan pemikiran kemanusiaan, ketika acap kali Barat dianggap yang paling berjaya dalam urusan konsep kemanusiaan, ajaran tentang haji yang direfleksikan dalam puncak ibadah di Arafah ini telah memancangkan tonggak bagi kemanusiaan saat Nabi Khutbah Wada’ yang begitu menyentuh nilai-nilai kedamaian, menghargai sesama dan menumbuhkembangkan spirit kebersamaan.
Kata-kata nabi begitu menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, mengapresiasi persaudaraan dan perlindungan terhadap hak-hak orang lain.
Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah SWT.
Hari Arafah seperti ini merupakan wahana training spiritual bagi kita semua yang seharusnya berdampak pada peningkatan kualitas diri setelah selesai dan pulang ke Tanah Air.
Inilah yang oleh ulama dikatakan sebagai indikasi haji yang mabrur saat kembali dari Tanah Suci kelakuannya menjadi lebih baik dibanding masa sebelum haji.
Saat di Arafah juga mengajarkan pada kita agar terbiasa untuk menghadirkan Allah dalam diri kita masing-masing.
Ketika di sini kita seakan lupa segalanya dan Allah hadir begitu dekat hendaknya akan terbawa pulang sebagai hamba yang mampu menghadirkan Allah dalam sikap dan perbuatan.
Merasa selalu dekat denganNya sehingga mampu menjadi alat kontrol terhadap perbuatannya.
Nabi mengingatkan kita melalui ajaran Ihsan yang merupakan tindak lanjut dari keimanan dan keislaman kita.
Dengan kata lain, jika ingin kita dapat selalu istiqamah konsisten dalam sikap dan perilaku maka selain iman dan Islam dirasa perlu untuk melengkapinya dengan Ihsan.
Ajaran Ihsan ini menjadikan diri ini merasa hidup dalam orbit Ilahi sehingga ke mana saja dan di mana saja serta dalam keadaaan apa saja selalu ingat Allah.
Dia akan menjadi pengawas melekat pada diri sehingga mendorong untuk selalu berperilaku positif di mana saja, taat aturan meski tak ada polisi.
Suasana Arafah akan melahirkan cara beragama yang tidak berisi aneka fragman hidup tetapi melatih kita untuk berenang dalam samudra ilahi hidup serba ingat Tuhan.
Dengan ungkapan lainmemberi penegasan agar masuk ke dalam Islam secara total.
"Hari orang-orang yang beriman, masuklah kami ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al Baqarah 108).
Sebagai akhir dari khutbah ini, saya ingin menegaskan bahwa pada saat dan waktu yang hening dan sakral ini, kita hendaknya dapat muhasabah, untuk senantiasa meningatkan ketakwaan, menyadari tanggung jawab kemanusiaan kita, menghormati antar sesama, menjaga harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan senantiasa menyadari hak dan kewajiban kita, baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa.
Revolusi mental untuk meneguhkan komitmen kebajikan antar sesama tanpa caci maki dan saling hina.
Kita berharap agar rahmat, ridha dan ampunan Allah SWT tercurah kepada kita semua, kepada warga bangsa, kepada para pemimpin kita, dan seluruh kaum muslimin sedunia.
Mudah-mudahan kita dikaruniai haji yang mabrur, kembali ke Tanah Air dalam keadaan bersih dan suci bagaikan anak yang baru lahir.
(Tribunnews.com/Nuryanti)