Pansus Angket Haji Politis, Dianggap Ingin Mendongkel Menteri Agama
Bergulirnya pansus angket ibadah haji 2024 mendapatkan penolakan keras dari Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf.Pansus dianggap politis.
Editor: Anita K Wardhani
Karena itu, Gus Yahya menilai tidak ada alasan yang cukup menggulirkan pansus pelaksanaan haji 2024. Sebab, tidak ada permasalahan yang dialami oleh para jemaah.
"Kami melihatnya enggak ada yang bisa dijadikan alasan yang cukup untuk pansus ini dan masyarakat saya juga bisa melihat lagi," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pembentukan panitia khusus (Pansus) angket pengawasan ibadah Haji 2024, Selasa (9/7) lalu.
Baca juga: Pansus Haji 2024 Buka Peluang Gali Keterangan Vendor hingga Pemilik Hotel di Arab Saudi
"Kini saatnya kami menanyakan kepada sidang dewan apakah pembentukan dan susunan nama-nama keanggotaan Pansus angket pengawasan haji sebagaimana yang diusulkan dapat disetujui?" kata Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dalam rapat.
"Setuju," sahut peserta rapat.
Cak Imin menyampaikan, anggota pansus angket pengawasan ibadah haji 2024 akan diisi oleh 30 orang anggota DPR. Dia membacakan komposisi pansus angket itu berisi tujuh anggota dari PDIP; Golkar dan Gerindra masing-masing empat orang; PKB, NasDem, Demokrat, PKS masing-masing tiga orang. Lalu, dua orang dari PAN, dan satu orang dari PPP.
Dari Fraksi PDIP masuk dalam keanggotaan pansus angket Arteria Dahlan, My Esti Wijayanti, hingga Diah Pitaloka. Lalu dari Golkar ada nama Ace Hasan Syadzily dan Nusron Wahid. Kemudian PPP diwakilkan oleh Achmad Baidowi alias Awiek.
Kuota Haji
Sementara itu Anggota Panitia khusus (Pansus) Angket Haji Fraksi PKS Wisnu Wijaya, menepis anggapan yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama. Wisnu menilai pendapat tersebut perlu diluruskan.
“Di Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah memang disebutkan bahwa penambahan kuota haji setelah Menteri menetapkan kuota haji diatur oleh Peraturan Menteri,” kata Wisnu.
Wisnu menjelaskan, di Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang juga diatur terkait dengan komposisi kuota haji khusus yaitu sebesar 8 persen.
“Artinya, Pasal 62 ayat (2) ini berfungsi untuk ‘mengunci’ atau menetapkan ambang batas maksimal pengisian kuota haji khusus. Jadi, seyogyanya tidak bisa dimaknai hanya dengan berdasar pada Pasal 9 saja karena berpotensi menimbulkan tafsir seolah Menteri Agama memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur kuota haji tambahan sekehendaknya sehingga membuatnya boleh mengisi kuota haji khusus melebihi batas yang sudah ditetapkan UU sebagaimana yang terjadi saat ini. Pasal 9 dan Pasal 62 ini terkait satu sama lain, tidak berdiri sendiri sehingga tidak bisa dimaknai parsial,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR ini mengatakan, perubahan atas penetapan kuota haji nasional berkonsekuensi pada perubahan postur anggaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan haji. Dimana anggaran tersebut dikelola oleh BPKH yang bersumber dari dana jemaah haji.
“Artinya, setiap sen rupiah yang dikeluarkan oleh BPKH atas permintaan Kementerian Agama guna penyelenggaraan haji wajib atas persetujuan DPR dalam kapasitasnya sebagai pengawas eksternal BPKH dan Kementerian Agama," ucapnya.
"Namun, dengan adanya kebijakan pengalihan kuota tambahan yang dilakukan sepihak oleh Kemenag lewat Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan tanpa konsultasi dengan DPR otomatis membuat besaran BPIH yang bersumber dari nilai manfaat yang sudah ditetapkan dalam Keppres No. 6 Tahun 2024 tentang BPIH jadi berubah,” imbuhnya.