TKI Dipenjara 2 Tahun Karena Money Laundering, Pemerintah Berdiam Diri
TKI Hongkong kembali menjadi korban ketidakadilan, dan pemerintah berdiam diri hingga akhirnya divonis
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - TKI Hongkong kembali menjadi korban ketidakadilan, dan pemerintah berdiam diri hingga akhirnya divonis penjara dua tahun. Demikian disampaikan Migrant Institute dalam siaran persnya yang diterima redaksi Tribunnews.com, Sabtu (21/9/2013).
Seorang TKI Hongkong asal Solo, Jawa Tengah berinisial Nn, divonis dua tahun penjara oleh pengadilan Hongkong (Wanchai Law Court) atas dugaan money laundering pada Januari 2013 lalu.
Kasus Nn ini bermula ketika awal Oktober 2010, ia dimintai tolong oleh temannya, bernama Arisanti untuk membukakan rekening Bank HSBC dengan alasan tidak bisa membuka sendiri karena dokumen di tahan majikan. NN yang memiliki sifat tidak tega lalu membuatkan rekening tersebut atas namanya, yang kemudian memberikan buku rekening Bank HSBC tersebut beserta ATM dan PIN-nya. Atas jasanya itu, kemudian Arisanti mengirimkan voucher pulsa sebesar 50 dollar AS sebagai ucapan terima kasih.
Tak lama kemudian NN juga dimintai tolong membuka rekening Bank Hang Seng untuk temannya yang lain bernama Suryani. Lagi-lagi Nn membukakan rekening tersebut dan memberikan buku rekening sekaligus ATM dan PIN. Suryani pun mengirimkan uang 200 dollar AS sebagai ucapan terima kasih.
Nn tidak pernah menyangka jika kebaikannya itu berujung penjara. Kedua rekening yang dibukakan Nn atas namanya itu dijual kedua temannya kepada orang lokal untuk digunakan sebagai pencucian uang (money laundering).
Pada April 2012, polisi mendatangi rumah majikan Nn dan menahannya. Ia sempat ditahan semalam, namun keesokannya dibolehkan keluar dengan membayar uang jaminan. Ia menjadi tahanan luar yang wajib melapor ke kantor polisi sebulan sekali. Nn di sidang dua kali tanpa pengacara. Namun pada sidang kedua, Nn diharuskan mencari pengacara untuk mendampingi kasusnya. Nn pun mendapat pengacara dari Legal Aid, yaitu tim pengacara yang disediakan pemerintah Hongkong.
Hingga akhirnya Nn divonis penjara, pihak pemerintah belum sama sekali menemuinya. Bahkan saat Migrant Institute berkunjung ke rumah keluarga Nn di Solo, pihak keluarga mengaku mengetahui masalah Nn ini dari teman sesama BMI, bukan dari pemerintah. “Sampai saat ini belum ada pihak dari pemerintah yang ke sini,” kata Eko, adik ipar Nn. Pihak keluarga, menurut Eko menerima musibah ini dengan ikhlas dan berharap musibah yang menimpa Nn menjadi pelajaran untuk seluruh BMI.
“Ini pelajaran beharga, tidak hanya untuk Nn tapi semua BMI. Karena di Hongkong atau di negara penempatan TKI lainnya, meminjamkan dokumen berharga pada sesama BMI itu sudah biasa. Ini yang seharusnya disosialisasikan agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan seperti yang terjadi pada Nn,” ungkap Adi Candra Utama, Direktur Eksekutif Migrant Institute.
Meskipun begitu, seharusnya pemerintah memberikan perhatian kepada TKI bermasalah, terutama TKI yang mengalami proses pengadilan karena bagaimana pun mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dibela Negara.
“Apapun itu masalahnya, Negara atau pemerintah berkewajiban membela warga negaranya yang tertimpa kasus di negara lain. Kemenlu harusnya lebih aktif dan keras membela warga negara atau TKI kita di luar negeri agar mereka tidak terus menjadi korban ketidak-adilan di negara lain,” tukas Adi Candra.
"Di Hongkong,banyak TKI bermasalah dengan hukum yang luput dari perhatian pemerintah. Semoga kasus Nn tidak terjadi pada Wilfrida yang tengah menanti vonis mati di Malaysia. Pemerintah harus bertindak menyelamatkan warga negaranya," jelas Adi, menambahkan.