Konflik Senjata di Sudan Selatan Bawa Konsekuensi Serius
Pertikaian telah berlangsung selama tiga minggu di Sudan Selatan dan membawa konsekuensi serius
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JUBA - Pertikaian telah berlangsung selama tiga minggu di Sudan Selatan dan membawa konsekuensi serius terhadap penduduk yang berada disana.
Organisasi Dokter Lintas Batas (MSF), dalam siaran persnya, Selasa (7/1/2014), mengatakan bayak organisasi internasional meninggalkan lokasi dengan meningkatnya skala konflik.
Hasilnya dengan meningkatnya kebutuhan penduduk, sumber daya yang ada kian menipis, dan dengan kondisi tidak stabil yang menghambat pemberian bantuan, situasi berubah menjadi semakin buruk.
"Penduduk yang sudah berada dalam kondisi sangat rentan menjadi semakin rentan," ujar Raphael Gorgeu, Kepala Misi MSF di Sudan Selatan.
"Kami tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap ribuan orang yang terlantar dan terluka di negeri ini."
Bahkan sebelum pertikaian pecah di bulan Desember, 80 persen layanan kesehatan dan layanan dasar lain di Sudan Selatan disediakan oleh organisasi non-pemerintah.
"Kini, risiko epidemi tinggi, dan jika pertikaian menghalangi upaya kami mendapat akses cepat dan aman untuk menjangkau penduduk yang membutuhkan, terutama perempuan hamil dan anak-anak. Kondisi ini akan kian memburuk," katanya.
Tim darurat MSF kini bekerja di Juba, Awerial dan Malakal untuk menyediakan layanan medis bagi lebih dari 110.000 orang yang terpaksa mengungsi akibat pertikaian. Pada saat yang sama, MSF terus menjalankan program medis reguler mereka di Sudan Selatan, meski kondisinya tidak stabil dan kurang persediaan obat untuk merawat pasien dan bahan bakar untuk menjalankan generator.
Selama tiga minggu belakangan, tim medis MSF telah menangani 26.320 konsultasi, merawat 1.014 pasien rawat inap, merawat 428 orang dengan luka tembak dan melakukan 126 operasi bedah. Tim MSF juga telah mengirimkan lebih dari 40 ton persediaan medis dan logistik ke lokasi proyeknya.
Sebelum krisis, akses penduduk Sudan Selatan terhadap layanan kesehatan sudah sangat terbatas, sebagian besar perempuan hamil tidak bisa melahirkan di fasilitas medis, pilihan perawatan dan vaksinasi untuk anak-anak sangat terbatas, pengungsi mendapat bantuan yang sangat minim.