Alasan Joshua Oppenheimer Sutradarai Film Act of Killing
Dokumenter ini menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI, Anwar, yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews dari Tokyo, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Film dokumenter Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer diputar di Tokyo 21 Maret lalu yang ditonton hanya sekitar 20 orang di klub wartawan asing Jepang di Yurakucho Tokyo. Pemutaran film ini juga dihadiri oleh sang sutradara.
"Film ini masih dilarang di Indonesia bahkan kita dapat ancaman dari militer termasuk juga anggota kru kita agar tidak masuk Indonesia film tersebut. Tetapi sempat diputar di kantor Komnas HAM ditonton para wartawan Indonesia bahkan mereka sempat memuji film tersebut," papar Joshua kepada pers di Tokyo.
Dokumenter ini menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI, Anwar, yang terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.
Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge Sørensen, diko-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten Brink, dan Andre Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas Westminster.
Berikut wawancara khusus Tribunnews.com dengan Joshua Oppenheimer, sutradara Film Act of Killing:
1. Apa sebenarnya latar belakang pembuatan film ini?
Pada 2001 saya membuat film tentang sekelompok buruh perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara yang berjuang mendirikan serikat buruh independen pasca reformasi politik. Dari pengalaman membuat film ini saya mempelajari apa yang menjadi kendala yang mereka hadapi. Mereka harus membangun kemandirian organisasi dan meningkatkan daya tawar mereka ketika masih dikelilingi oleh orang-orang yang dulu membunuh keluarga mereka hanya karena semata-mata mereka bergabung dengan organisasi yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Para pembunuh ini, bukan saja bebas dari hukuman, mereka juga masih ditakuti, berkuasa, atau menjadi tokoh masyarakat atau pemimpin lokal.
Sementara saya kesulitan membuat film tentang keluarga korban dan penyintas pembantaian ’65, dan hampir menyerah karena selalu diganggu preman perusahaan perkebunan, polisi, aparat pemerintah setempat, atau intelijen militer, para penyintas dan anggota keluarga korban mendorong saya untuk merekam dan mengambil gambar para pembunuh.
"Filmkan para pembunuh" kata keluarga korban, "Kalau ingin tahu cerita tentang kami."
Saya mencoba mendekati salah satu pembunuh itu, dan di luar dugaan saya, mereka bercerita dengan sangat terbuka, bukan hanya kepada saya, tapi juga di depan istri, anak, atau cucunya. Mereka membual dan menyombongkan perbuatan kejinya. Saya sangat terkejut pada saat itu. Saya berusaha memahami apa yang menyebabkan mereka membualkan kejahatan mereka. Saya lalu menemui dan memfilmkan setiap pembunuh yang bisa saya temui di tingkat desa, terus mengikuti rantai komandonya, ke tingkat kecamatan, kabupaten sampai ke Kota Medan.
Anwar Congo adalah pembunuh ke 41 yang saya temui. Pada Anwar saya melihat ada sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang sudah diujung lidah tapi tak menemukan bahasa untuk mengekspresikannya.
Pembuatan film Jagal yang panjang, lebih dari 7 tahun, adalah sebuah kerja kolektif dengan banyak sekali saran dan gagasan dari banyak orang. Pada keluarga korban dan penyintas pembantaian ’65 saya berutang keberanian untuk mencoba sesuatu yang saya kira awalnya tidak mungkin. Pada para awak film, terutama awak film asal Indonesia, saya berutang banyak sekali masukan, saran, baik dari segi teknis maupun aspek kreatif dari pembuatan film ini. Saya sama sekali tidak ingin membuat sebuah film yang pada akhirnya hanya menjadi gagasan asing di tanah kelahirannya sendiri. Saya ingin sebuah film yang menjadi suara kemanusiaan yang universal dan nyaring bunyinya di telinga semua bangsa. Karena pada akhirnya, film yang saya buat bukan semata-mata bercerita tentang Sumatera Utara atau Indonesia, melainkan tentang manusia, cara menyampaikan cerita, dan dunia yang dibangunnya.
4. Bolehkah cerita mengenai anggaran film?
Saya kira, sebuah karya seperti film dokumenter ini, yang tidak berjalan dengan cara berhitung bisnis atau industri, tidak bisa betul-betul dihitung sebagai sebuah proyek untung rugi yang angkanya didapatkan dari pemasukan dikurangi pengeluaran. Ada banyak hal yang terlalu penting untuk semata-mata diukur dengan uang. Ada tenaga dan waktu yang disumbangkan oleh para kru dan pendukung film ini yang tak bisa dinilai dengan uang. Ada keberanian para kru, pendukung, penyelenggara pemutaran di Indonesia yang tak juga layak diukur dengan uang. Ada perubahan yang mungkin sedang merayap di antara relung-relung kesadaran para penonton film ini yang tidak bisa diukur dengan harga tiket bioskop atau pemasukan dari penjualan DVD, apalagi kalau mereka adalah penonton Indonesia yang menonton film ini dengan gratis.
Ada diskusi yang berkembang di warung-warung kopi, di kampus, di media sosial, di rumah, di kantor, di warnet, di Takalar, Waepo, Kalabahi dan banyak tempat lain yang dimulai dari beberapa orang yang mengajak teman-temannya menonton film Jagal. Ada orang yang mengubah pilihannya di pemilu yang baru lalu karena menonton film Jagal. Semua hal yang terjadi sebagai dampak dari film ini bukan soal untung rugi berapa biaya produksi film dan berapa pemasukannya. Kebenaran yang sudah waktunya disampaikan tidak bisa dinilai dengan uang.
5. Punya rencana lagi membuat film sejarah mengenai Indonesia di masa depan?
Saat ini saya sedang menyelesaikan sebuah film berjudul Senyap atau dalam versi Inggris The Look of Silence. Film ini bercerita tentang keluarga korban pembantaian ‘65 yang berusaha memaknai apa yang terjadi dalam sejarah keluarga mereka. Kami mengajak salah satu keluarga korban untuk mengunjungi kembali masa lalu mereka dan juga orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian kakak atau anaknya.
Film ini bukan cuma berisi bualan dan penyangkalan, tetapi juga sebuah harapan untuk rekonsiliasi dan kata maaf.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.