Setiap 40 Detik Terjadi Aksi Bunuh Diri, Kebanyakan Dilakukan Kaum Pria
Setiap 40 detik terjadi aksi bunuh diri yang kebanyakan dilakukan pria. Eropa paling parah angka bunuh diri. Mengapa?
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Bunuh diri ternyata merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk kelompok umur 15 – 29 tahun. Lebih banyak orang mati bunuh diri ketimbang akibat bencana alam atau perang. Setiap tahunnya lebih dari 800.000 orang mati karena bunuh diri.
Sekitar 75% persen kasus bunuh diri yang terjadi dideteksi berasal dari negara yang perekonomiannya menengah ke bawah. WHO juga menyampaikan fakta mengejutkan bahwa jumlah orang yang bunuh diri lebih banyak dari gabungan korban perang, bencana alam, dan konflik lainnya.
Dalam laporan global pertama mengenai pencegahan bunuh diri ini WHO menyampaikan bahwa setiap 40 detik seseorang di dunia melakukan aksi bunuh diri. Herannya, hanya ada sedikit negara yang memiliki kebijakan pencegahan bunuh diri.
Shekhar Saxena, Direktur Kesehatan Jiwa dan Penyalahgunaan Narkoba di WHO, mengatakan bahwa bunuh diri merupakan tindakan orang yang merasa depresi, terisolasi, dan tak punya harapan. Ia menyarankan masyarakat untuk lebih mendukung dan memberi perhatian pada mereka yang mengalami stress berat.
Hampir di semua kasus, orang yang melakukan bunuh diri telah mencari pertolongan dari seseorang. Bisa pada teman, keluarga, sistem jaminan sosial, organisasi agama, dan lain-lain. Sayangnya respon yang didapat seringkali tidak positif sehingga mereka menjadi lebih putus asa.
Karena lebih banyak orang mati bunuh diri ketimbang akibat bencana alam atau perang, WHO menggolongkan bunuh diri sebagai masalah kesehatan global. Metode yang paling sering digunakan adalah meminum pestisida, gantung diri, dan menembak diri.
Tingkat bunuh diri tertinggi sendiri ada di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Secara keseluruhan di dunia terdapat lebih banyak pria yang bunuh diri ketimbang perempuan, terutama mereka yang tinggal di negara maju.
Menurut WHO, fakta mengapa lebih banyak orang mati bunuh diri ketimbang akibat bencana alam atau perang juga disebabkan oleh media. Aksi bunuh diri yang dilakukan selebriti dan diberitakan di media dapat memancing perilaku meniru.
Alexandra Fleischmann, ilmuan dari WHO, menekankan bahwa media seharusnya tidak melaporkan kasus bunuh diri dengan glamor atau sensasional. Ia cemas pemirsa akan melakukan perilaku imitasi dan melakukan hal serupa (VoaIndonesia).