Membaca Kekuatan Besar di Balik Gerakan ISIS
Mari membaca kekuatan besar di balik gerakan ISIS.
Editor: Agung Budi Santoso
Tugas aggota kelompok itu adalah memantau para anggota lain terkait adanya tanda-tanda perbedaan pendapat, kata orang Suriah itu. "Mereka merupakan mata dan telinga keamanan Daesh, dan mereka sangat berkuasa," katanya, dengan menggunakan singkatan bahasa Arab dari ISIS.
Abu Hamza dibebaskan dari penjara setelah setuju untuk sependapat dengan para komandan lain, katanya. Namun, pengalaman tersebut berkontribusi terhadap kekecewaannya pada kelompok itu. Dia mengatakan, para petempur asing yang bertugas bersamanya merupakan "orang-orang Muslim yang baik".
Namun, dia kurang yakin dengan para pemimpin Irak itu. "Mereka berdoa dan mereka berpuasa dan Anda tidak bisa menjadi amir tanpa berdoa, tetapi di dalam saya tidak berpikir mereka begitu percaya hal itu," katanya. "Orang-orang Baath sedang menggunakan Daesh. Mereka tidak peduli dengan Baathisme atau bahkan Saddam. Mereka hanya ingin kekuasaan. Mereka dulu berkuasa dan mereka ingin berkuasa kembali."
Ingin menguasai Irak
Apakah para mantan anggota Baath mematuhi ideologi ISIS? Hal itu merupakan perdebatan. Hashim mencurigai banyak dari mereka tidak mematuhi ideologi itu.
"Orang masih bisa berpendapat bahwa itu adalah aliansi taktis," katanya. "Banyak anggota Baath tidak suka ISIS menguasai Irak. Mereka yang ingin menguasai Irak. Banyak dari mereka melihat kaum jihad dengan pola pikir Leninis bahwa orang-orang ISIS merupakan orang-orang idiot yang berguna yang dapat kita gunakan untuk meraih kekuasaan."
Rayburn bertanya apakah sejumlah relawan asing menyadari sejauh mana mereka sedang ditarik ke rawa-rawa Irak. Sejumlah pertempuran sengit yang dikobarkan saat ini di Irak adalah untuk mengendalikan masyarakat dan kawasan yang telah diperebutkan di antara orang-orang Irak selama bertahun-tahun, sebelum kaum ekstremis itu muncul.
"Anda punya para petempur yang berasal dari seluruh dunia untuk berperang dalam pertarungan politik lokal yang jihad global tidak mungkin punya kepentingan."
Para mantan perwira Baath yang bertugas bersama sejumlah orang yang saat ini berjuang dengan ISIS justru yakin yang terjadi adalah sebaliknya.
Bukan para anggota Baath yang sedang menggunakan para jihadis agar bisa kembali berkuasa. Para jihadis itulah yang telah mengeksploitasi keputusasaan para perwira yang dibubarkan itu.
Demikian menurut mantan seorang jenderal yang dulu memimpin pasukan Irak dalam invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 dan saat melawan invasi AS ke Irak tahun 2003. Dia berbicara tanpa mau diungkap jati dirinya karena ia takut untuk keselamatannya. Ia sekarang tinggal di Irbil, ibu kota wilayah Kurdistan di Irak utara.
Mantan jenderal itu mengatakan, para mantan perwira Baath itu bisa dibuat untuk menjauh dari ISIS jika mereka ditawari alternatif dan harapan akan masa depan. "Orang Amerika memikul tanggung jawab terbesar. Ketika mereka membubarkan tentara, apa yang mereka harapkan orang-orang itu bisa lakukan?" tanyanya. "Mereka diabaikan tanpa sesuatu yang harus dilakukan dan hanya ada satu jalan keluar bagi mereka agar meja makannya tetap ada isinya."
Ketika para perwira AS membubarkan para tentara Baath, "mereka tidak men-de-Baathify pikiran orang, mereka hanya menghilangkan pekerjaan mereka," katanya.
Menurut Hassan, ada mantan anggota Partai Baath yang telah bergabung kelompok-kelompok pemberontak lain yang mungkin dapat dibujuk untuk beralih haluan. Ia memberikan contoh tentang Army of the Men of the Naqshbandi Order, yang biasanya disebut dengan singkatannya dalam bahasa Arab, yaitu JRTN. Mereka menyambut ISIS dalam serbuan ke Irak utara pada musim panas lalu, tetapi kelompok tersebut sejak itu telah bubar.
Namun, sebagian besar anggota Partai Baath yang benar-benar bergabung dengan ISIS kini cenderung menjadi radikal, baik di penjara maupun di medan perang, kata Hassan.