Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kesaksian Calon Pilot Pesawat Kamikaze Jepang

"Kawan-kawan saya yang meninggal dikenang dalam kemuliaan sebagai patriot. Namun saya tidak punya kesempatan yang sama seperti mereka."

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Y Gustaman
zoom-in Kesaksian Calon Pilot Pesawat Kamikaze Jepang
The Guardian
Hisao Horiyama, mantan pilot Kamikaze Jepang di Perang Dunia II. Namanya terpilih untuk operasi Kamikaze tapi Kasiar Hirohito keburu menyatakan Jepang menyerah di Perang Dunia II, 15 Agustus 1945. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dalam peringatan 70 tahun bom atom Nagasaki, akhir Perang Dunia II, dua calon pilot Kamikaze mengisahkan bagaimana mereka menyiapkan diri mati untuk Kaisar Hirohito dan Jepang.

Hisao Horiyama, pertama kali dihadapkan pada tiga pilihan setelah disodorkan secarik kertas putih: bersedia menjadi relawan Kamikaze, atau hanya jadi relawan biasa, atau tidak sama sekali.

Sebagai seorang pilot berusia 21 tahun, tatkala Negeri Matahari Terbit merasa getir akibat dua bom atom yang dijatuhkan Amerika, ia hanya punya satu pilihan, terbang menjadi pilot Kamikaze demi kehormatan Kaisar dan Jepang.

Dalam pikirannya, tindakan meledakkan pesawat di garis terdepan pertahanan musuh bersama pilot Kamikaze lainnya, akan memberikan kemenangan untuk Jepang dan Kaisar. Horiyama adalah seorang prajurit muda dalam satuan artileri tentara Kekaisaran Jepang ketika dia diwajibkan masuk angkatan udara.

Saat itu adalah akhir 1944, dan gelombang perang berubah melawan Jepang. Saat kamikaze baru dibentuk, pemimpin militer Tokyo membayangkan sebuah unit yang berdedikasi ideologis-prajurit bersedia mati mulia untuk kekaisaran.

Sebagai anak bangsa, dia setia menunggu tawaran yang diberikan kepadanya. Horiyama merindukan saat kemuliaan, mati sebagai anggota kelompok elit Kamikaze. Cerita itu ia sampaikan di usianya 92 tahun kepada Guardian di rumahnya di Tokyo.

Berita Rekomendasi

Model pesawat pejuang ada di rak buku di ruang tamu apartemen yang ia tinggali bersama istrinya. Di salah satu sudut ruangan ada kotak-kotak karton berisi foto-foto hitam putih pilot Kamikaze, majalah veteran, jurnal dan guntingan surat kabar.

"Ketika kami lulus dari sekolah pelatihan tentara Kaisar Showa [Hirohito], kami dikunjungi unit kuda putih. Saya pikir kemudian ini adalah tanda bahwa waktunya akan tiba. Aku tahu bahwa aku tidak punya pilihan selain mati baginya," cerita Horiyama mengenang masa-masa itu.

"Pada waktu itu kita percaya Kaisar dan bangsa Jepang adalah satu dan sama."

Karena itu, pada Januari 1945 lebih dari 500 pesawat Kamikaze menuju mengambil bagian dalam misi bunuh diri sebagai bentuk perlawana atas invasi AS dan sekutunya. Di akhir perang, lebih dari 3.800 pilot Kamikaze meninggal dengan cara menabrakkan pesawat ke arah kapal dan kekuatan sekutu.

Hisao Horiyama saat mudanya lulusan sekolah pelatihan tentara Kaisar Showa atau Hirohito. (The Guardian)

"Kami tidak berpikir terlalu banyak," kata Horiyama. "Kami dilatih untuk menekan emosi. Bahkan jika kita mati, kita tahu itu untuk suatu tujuan mulia. Mati adalah pemenuhan tertinggi dari tugas kita, dan kita diperintahkan untuk tidak kembali hidup-hidup. Kami tahu bahwa jika kita kembali hidup, atasan kami akan marah."

Seperti pilot lainnya yang dipilih untuk misi bunuh diri, Horiyama diminta untuk menulis suatu kehendak dan sebuah surat yang akan dikirim kepada orangtuanya ketika misi mereka selesai.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas