Suara dari Roma, Kerukunan Beragama di Indonesia Menunjukkan Kemajuan
Konflik agama tidak melulu selalu diawali dari persoalan agama itu sendiri tetapi dapat berawal juga dari persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.
Editor: Robertus Rimawan
"Jadi menulis di media ukurannya bukanlah soal siapa tetapi soal substansi pemikiran yang ditelorkan,” tegas Putut Prabantoro.
Menurutnya, opini itu tidak mengenal agama, suku ataupun ras.
Opini di media, demikian ditegaskan Putut, akan memiliki nilai ketika bisa menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang positif.
Oleh karenanya, adalah perlu bagi para pemuka agama untuk menguji secara publik pemikiran-pemikirannya.
Hermawi Taslim dan AM Putut Prabantoro berada di Roma dalam rangka memenuhi undangan Vatikan untuk hadir dalam Konferensi Internasional Peringatan 50 tahun dokumen NOSTRA AETATE (Pada Zaman Kita) pada 28 OKtober 1965.
Nostra Aetate adalah, satu dari 16 dokumen independen dan normatip dari Konsili Vatikan II yang ditandatangani oleh Paus Paulus VI, pada saat-saat menjelang penutupan Konsili.
Dokumen tersebut berisi manifestasi sikap keterbukaan Gereja Katolik dalam membangun dan sekaligus memperkokoh hubungan umat Katolik dan pemeluk-pemeluk agama Non-Kristen.
Perayaan pesta emas itu sendiri dibentuk dalam kemasan momentum kenangan, syukur dan pembaruan komitmen.
Acara yang akan berlangsung dari tanggal 26 – 28 Oktober ini akan dihadiri para tokoh dan pemimpin agama dari berbagai belahan bumi, juga para peserta dari berbagai kalangan.
Tiga tema besar yang menjadi bahasan dalam perayaan tersebut yakni Dialog Agama sebagai Pelayanan Terhadap Manusia, Kekerasan dan Peran Agama Untuk Perdamaian, dan Tantangan Terhadap Kebebasan Beragama.
Pada akhir selebrasi 50 tahun Nostra Aetate, para peserta akan bertatap muka dengan Paus Fransiskus dalam acara audiensi umum.(*)