50 Tahun Nostra Aetate: Meski Agama Berbeda, Air Mata Derita Tetap Sama
Agama boleh berbeda-beda, namun air mata derita umat manusia tetap sama.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, ROMA - Agama boleh berbeda-beda, namun air mata derita umat manusia tetap sama.
Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemuka seluruh agama di dunia untuk bekerja sama membangun perdamaian dunia dan terus berupaya terciptanya kesejahteraan bagi umat manusia.
Demikianlah inti dari film “Nostra Aetate, The Leaven Of Good (Nostra Aetate, Ragi Kebaikan – red) yang menandai dimulainya konferensi internasional peringatan 50 tahun Nostra Aetate, di Universitas Gregoriana Roma, Italia, Senin (26/10).
Nostra Aetate (Pada Jaman Kita – Red), adalah salah satu dari 16 dokumen independen yang dihasilkan Konsili Vatikan II yakni pada 28 Oktober 1965.
Dokumen itu berisi keterbukaan Gereja Katolik dalam membangun hubungan keterbukaan dengan agama non Kristen.
Hadir dalam konferensi internasional sekitar 300 orang yang terdiri dari para tokoh dan pemimpin agama dari berbagai belahan bumi.
Juga para peserta dari berbagai kalangan, termasuk dua dari Indonesia yakni Hermawi Taslim Ketua FORKOMA PMKRI (Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan AM Putut Prabantoro, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
Hadir dalam acara pembukaan tersebut adalah Kardinal Jean Louis Tauran – Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar Agama dan Kardinal Kurt Koch – Presiden Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristen.
“Nostra Aetate, The Leaven Of Good” yang berdurasi 25 menit itu merekam berbagai pendapat para tokoh agama dari berbagai keyakinan tentang masa depan dunia.
Pesan utama yang ingin dikemukakan adalah dunia tidak mungkin dibangun dengan permusuhan, diskriminasi, penganiayaan ataupun penderitaan umat manusia.
Para tokoh agama harus bekerjasama dalam membangun dunia masa depan dengan perdamaian.
“Perdamaian itu syarat mutlak diperlukan ketika perang dirasa tidak akan berakhir. Perdamaian itu diperlukan ketika penderitaan umat manusia dirasa tidak pernah akan beranjak pergi."
"Dunia harus dibangun dalam perdamaian, kesetaraan dan tanpa diskriminasi. Itu pesan utama dari peringatan 50 tahun Nostra Aetate yang diungkapkan oleh Kardinal Jean Louis Tauran dalam pidato pembukaan konferensi,” ujar Putut Prabantoro.
Dijelaskan lebih lanjut, dengan Nostra Aetate, oleh karena itu Gereja Katolik mengecam setiap bentuk diskriminasi ataupun penganiayaan berdasarkan keturunan, warna kulit, kondisi hidup dan agama karena hal itu bertentangan dengan semangat Kristus.
Hanya dengan perdamaian, dialog antar agama dan persahabatan, penderitaan dunia akan terselesaikan.
Hermawi Taslim menguraikan bahwa suatu bangsa yang tercabik-cabik karena perang ataupun penindasan, akan sangat mengerti apa kata perdamaian.
Kata itu (perdamaian –red) diperlukan bagi mereka yang hidup dalam diskriminasi, penganiayaan dan penindasan.
Para tokoh agama di manapun memegang peran penting dalam membangun perdamaian yang dibutuhkan setiap bangsa di manapun mereka berada.
“Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana menciptakan perdamaian, kesetaraan, dan juga meniadakan penindasan ? Kesejahteraan saya kira salah satu poin penting yang perlu digarisbawahi oleh para tokoh agama"
"Bagaimana para tokoh agama menawarkan kesejahteraan itu terkait dengan perdamaian. Kita boleh berbeda agama tetapi soal penderitaan, perang, penindasan adalah sama bagi setiap orang tanpa melihat suku, agama ataupun ras,” ujar Hermawi Taslim.
Dalam pembukaan itu masing-masing pemuka agama yang hadir mendapat kesempatan untuk memberi sambutanya, termasuk dari Hindu, Islam Sunni, Islam Siah, Budha, Sikh, Dewan Gereja Sedunia, Yahudi, Aliran Kepercayaan Tradisional Afrika dan Focolare Movement.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.