Jaksa Turki Tuntut Fethullah Gulen Penjara 1.900 Tahun
Gulen juga dituduh membentuk dan mengendalikan sebuah kelompok teroris bersenjata. Demikian dikabarkan kantor berita Anadolu.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, ISTANBUL -- Jaksa penuntut Turki, Selasa (16/8/2016), menuntut agar ulama Fethullah Gulen dijatuhi hukuman penjara dua kali seumur hidup dan 1.900 tahun.
Dalam berkas dakwaan setebal 2.527 halaman yang diajukan jaksa penuntut Usak, di wilayah barat Turki, Gulen dituduh berusaha menghancurkan konstitusi dengan menggunakan kekerasan.
Gulen juga dituduh membentuk dan mengendalikan sebuah kelompok teroris bersenjata. Demikian dikabarkan kantor berita Anadolu.
Organisasi teroris pimpinan Gulen itu, seperti disebut pemerintah Turki adalah Organisasi Teror Fethullah Gulen (FETO), diyakini telah menginfiltrasi arsip negara lewat para anggotanya di berbagai institusi pemerintahan dan unit-unit intelijen.
Kelompok ini, masih menurut berkas dakwaan, menggunakan berbagai yayasan, sekolah-sekolah swasta, perusahaan, asrama pelajar, media massa dan perusahaan asuransi untuk menjadi alat tujuah FETO menguasi negara.
FETO juga menggalang dana dari para pebisnis dan memindahkan uang itu ke Amerika Serikat dengan menggunakan perusahaan cangkang dan menggunakan berbagai bank di Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, Tunisia, Maroko, Jordania dan Jerman.
Kasus-kasus yang dibeberkan dalam berkas dakwaan itu tertanggal hingga September 2015, jauh sebelum kudeta militer pecah bulan lalu.
Tuntutan dua hukuman penjara seumur hidup ditambah hukuman penjara 1.900 tahun untuk Gulen merupakan tuntutan hukuman terberat yang pernah diajukan di Turki sejak penghapusan hukuman mati pada 2004.
Sementara itu, PM Binali Yildirim mengatakan, negerinya akan menggelar sidang yang adil ketimbang hukuman mati untuk para pelaku kudeta.
"Seseorang langsung mati jika dieksekusi," kata Yildirim di hadapan anggota parlemen.
"Ada cara yang lebih menyakitkan untuk mati ketimbang hukuman mati bagi mereka (pelaku kudeta), yaitu sebuah sidang yang bebas dan adil," lanjut Yildirim.
Rencana Turki memberlakukan kembali hukuman mati pasca-kudeta mengejutkan Uni Eropa hingga mengancam akan mempersulit keinginan Turki bergabung dengan blok ekonomi itu jika tetap menerapkan hukuman mati kembali.