Prosedur Pengadilan di Jepang Membuat Pihak Bersengketa Berdamai
Kepala Biro Seoul koran Sankei Jepang Tatsuya Kato sempat kaget saat dipanggil ke pengadilan di Seoul karena dianggap mencoreng nama baik Presiden.
Editor: Dewi Agustina
Wakai adalah kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka hakim yang menangani kasus litigasi tersebut.
Sementara, Chotei adalah kesepakatan antara para pihak dalam suatu perkara Chotei tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka Komisi Chotei.
Buku Kusano juga mengungkapkan segala kritikan dan ketidakpuasan yang mengiringi praktik Wakai. Namun begitu, Yoshiro memandang kritikan tersebut hanya berkisar pada metode dan isi, tetapi tidak menafikan pentingnya Wakai.
"Hakim hendaknya secara aktif berupaya keras tanpa sikap menonjolkan diri untuk melangsungkan Wakai baik yang memuaskan kedua belah pihak," tulis Kusano pada halaman 28.
Implisit, mantan hakim yang telah mengabdi selama 35 tahun ini ingin mengatakan bahwa sukses atau tidaknya Wakai terletak di pundak para hakim.
Kerja sama dengan panitera pengadilan merupakan hal yang sangat penting dalam proses Wakai.
Diibaratkannya hubungan hakim-panitera layaknya dua pemegang tandu, di mana tanpa salah satunya tandu tidak mungkin terangkat.
Nasihat penting Kusano adalah agar tidak lemah dalam melaksanakan Wakai.
Dengan cara Wakai model ini, kesepakatan para pihak tentunya akan menyedot energi dan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan berproses di pengadilan.
Kusano juga mengingatkan bahwa Jepang dan Indonesia pada dasarnya memiliki kondisi hukum yang berbeda. Makanya buku ini tidak begitu saja dapat diterapkan di Indonesia.
Laiknya sebuah kajian perbandingan, penyesuaian di sana-sini tentunya perlu dilakukan.
Budaya masyarakat Jepang yang sungkan berselisih, enggan ribut di pengadilan, tampaknya semakin mudah melakukan Wakai, melakukan kesepakatan di luar pengadilan.
Hanya pihak yang benar-benar sudah tak bisa didamaikan lah yang biasanya masuk dan muncul di pengadilan di Jepang. Butuh uang banyak dan butuh waktu berkepanjangan kalau sudah masuk pengadilan di Jepang.
Jadi mungkin unsur budaya masyarakat ternyata mungkin perlu menjadi pertimbangan untuk pelaksanaan di Indonesia.
Lebih ingin berdamai di luar pengadilan dengan baik, atau langsung masuk ke pengadilan saling "bertempur"?
Karakter manusia inilah yang mungkin ikut mempengaruhi proses Wakai bisa tidaknya diimplementasikan di Indonesia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.