Kisah Orang Belanda yang Habiskan Hidupnya Lestari Budaya Suku Mangyan
Seorang Belanda bernama Antoon Postma mendokumentasikan sekitar 20 ribu puisi suku ini selama lima dekade hidup di antara orang-orang Mangyan.
TRIBUNNEWS.COM – Budaya suku Mangyan Filipina di pulau Mindoro terus berada di bawah ancaman akibat modernisasi.
Tapi lebih dari setengah abad, antropolog Belanda bekerja untuk melestarikan budaya dan naskah-naskah kuno mereka.
Setelah puluhan tahun tinggal di sebuah desa pegunungan bersama suku Mangyan, antropolog tua ini meninggal akibat penyakit gagal hati dan ginjal bulan lalu.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi KBR.
Seorang Belanda bernama Antoon Postma mendokumentasikan sekitar 20 ribu puisi suku ini selama lima dekade hidup di antara orang-orang Mangyan.
Rekaman audio puisi-puisi ini disimpan di Perpustakaan Kongres di Washington D.C. dan perpustakaan Pusat Warisan Mangyan di Kota Calapan.
Postma, 87 tahun, akrab dipanggil Bapa atau paman, tiba di Mindoro setelah perjalanan selama sebulan dengan kapal dari Belanda. Pertama kali tiba, dia adalah seorang misionaris.
Postma telah membantu melestarikan budaya Mangyan. Ia bahkan mengadopsi pakaian tradisional mereka dan menetap di desa Panaytayan.
Di kota Mansalay, hampir warga dari semua lapisan bercerita tentang pengorbanan Postma untuk menjaga utuh budaya Mangyan selama beberapa generasi.
Di sana, wartawan KBR Saga bertemu Sagangsang, putra Postma yang menikah dengan Wakil Walikota, Lynette, yang mengadvokasi hak-hak Mangyan.
“Ketika saya masih muda, dia mengajak saya berjalan kaki beberapa kilometer ke pusat kota. Dia orang yang keras tapi mengajarkan kami untuk bersikap baik dan percaya pada Tuhan. Kami tidak menyangka dia pergi secepat ini,” ungkap Sagangsang.
Tidak jauh dari situ, ada saudara perempuan Sagangsang bernama Anya.
Dia baru saja pulang dari acara yang dihadiri para pejabat pemerintah.
Mereka mengumumkan kalau desa ini adalah ‘yang pertama dinyatakan bebas narkoba di daerah Mimaropa.’
Anya, 32 tahun, bercerita bagaimana ayahnya sepanjang hari, siang dan malam, berada di perpustakaan lokal.
Dia melihat betapa berharga dan indahnya budaya Mangyan. Dia adalah contoh bagaimana merangkul dan bangga terhadap budaya seseorang,” kata Anya.
Dahulu Postma menguraikan dokumen tertua di negara ini, yang disebut Laguna Copperplate, yang ada sebelum abad ke-10.
Yam-ay Insik, istri Postma dan ibu dari empat anak mereka, yang adalah orang Mangyan.
Dia menawari saya kelapa muda yang dia belah dengan bolo, parang khas Filipina.
Di sampingnya ada tokoh desa, Unyo Insik, salah satu anak asuh mereka. Unyo sangat berduka dengan kepergian Postma, tapi dia terhibur dengan warisannya.
“Karyanya jadi referensi. Sekarang kami merayakan Hari Budaya Mangyan. Dia juga membela suku dari perlakukan kasar tentara selama masa Darurat Militer. Dia juga mengajarkan kami untuk bersikap tegas,” ujar Unyo.
Postma menerbitkan buku tentang sejarah, budaya dan bahasa Mangyan.
Dia juga menyusun salinan lengkap dari pernyataan pelestarian yang digunakan orang Mangyan untuk mengklaim tanah leluhur mereka.
Saat pemakaman beberapa orang memuji karya Postma.
Mereka berterima kasih kepadanya karena mendirikan sekolah untuk orang Mangyan, yang telah menghasilkan beberapa professional.
Anya, yang sedang menggendong putranya yang berusia dua bulan Antonious, mengaku masih berkabung atas kepergian sang ayah.
Tapi dia bersumpah untuk melanjutkan warisannya lewat pekerjaannya di Pusat Warisan Mangyan di Kota Calapan, yang ikut didirikan Postma.
Anya mengajar dan mengadakan pameran tentang budaya mereka di seluruh negeri.
Penulis: Madonna Virola/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.