Terkenal dan Disukai, Indomie "Diklaim" Sebagai Produk Afrika
Produk mi instan Indomie kembali jadi perbincangan ketika menteri perdagangan menyebutnya sebagai salah satu contoh keberhasilan investasi di Afrika.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Produk mi instan Indomie kembali jadi perbincangan ketika menteri perdagangan menyebutnya sebagai salah satu contoh keberhasilan investasi di Afrika.
Enggartiasto Lukita dalam acara rapat pimpinan nasional Kamar Dagang DKI Jakarta, Selasa (21/03) kemarin, mengatakan bahwa, "di Nigeria ada 10 pabrik Indomie, mereka mengklaim Indomie dari Afrika."
Mendag Enggartiasto mengatakan hal itu untuk mendorong para pengusaha agar meningkatkan ekspor dan menyebut Afrika sebagai salah satu tujuan karena sejumlah produk Indonesia diterima baik di pasar benua itu.
Terlepas dari perbincangan soal investasi, Indomie atau mi instan secara umum sudah sering menjadi pembicaraan dan menyusup dalam budaya pop hingga galeri seni.
Enam tahun lalu misalnya penyanyi rap kulit hitam London, Jesse Two Ocean (J2O) membuat khusus lagu berjudul Indomie - hal yang kemudian menarik perhatian media online dalam negeri.
Penulis asal Nigeria Chimamanda Ngozi Adichie juga pernah menyinggung merek Indomie dalam novelnya Americanah - fiksi yang kemudian banyak dipuji kritikus.
Di Indonesia, produk ini bukan cuma jadi santapan tapi juga menjadi bagian dari kultur digital - lengkap dengan segudang meme yang menggambarkan mirisnya nasib anak kos atau plesetan lucu rasa mi. "Rasa yang dulu pernah ada," begitu tulisan di satu meme lengkap dengan gambar kemasannya.
Atau dalam edisi galau anak remaja: "Apakah aku harus jadi Indomie, untuk jadi seleramu?"
Baru-baru ini sebuah kedai di Jakarta bahkan memperkenalkan kue ulang tahun dua tumpuk dengan bahan mi instan goreng. "Ditambah kornet spesial dan kejuuuu, Ulala!!" kata mereka di Instagram.
Tapi seberapa populer kehadirannya di Afrika?
Wartawan BBC Afrika, Akwasi Sarpong, mengatakan Indomie adalah opsi makanan instan bagi banyak orang di daerah Afrika Barat ketika stoknya tersedia, terutama di Ghana dan Nigeria.
"Iklannya banyak memenuhi siaran TV, radio, dan penjualannya juga cukup tinggi sehingga mendorong pengusaha lokal menggarap pasar yang sama."
Dia mencontohkan Asamoah Gyan, kapten tim sepak bola nasional Ghana, Black Star.
"Mantan pemain klub Liga Inggris Sunderland FC yang kini tinggal di Uni Emirat Arab itu menginvestasikan penghasilannya untuk menggarap ceruk bisnis yang sama," ujarnya.
Betulkah diklaim?
Produk yang mulai diperkenalkan sejak 1982 ini memang sudah mendunia dan dijual di Amerika, Timur Tengah, Australia, dan Afrika.
Walau pada 2010, produknya sempat ditarik di sejumlah toko Taiwan karena karena mengandung pengawet yang dianggap berbahaya.
Perusahaan riset Kantar Worldpanel akhir tahun lalu menempatkannya di posisi ke delapan dalam peringkat produk yang paling banyak dibeli di dunia dalam kategori fast-moving consumer goods.
Di London, produk ini banyak dijual di toko Afrika yang tak ragu menempatkannya di jajaran rak paling depan - dan kadang ditumpuk 20-30 kardus sekaligus.
Tolla Allie, warga Nigeria yang sudah 15 tahun menetap di London, secara berkala membelinya langsung satu atau dua kardus, karena akan lebih murah dibandingkan membeli eceran.
"Sepertinya dia tidak tahu itu produk Indonesia, yang dia tahu itu produk Nigeria," kata Mohamad Susilo, wartawan BBC Indonesia di London.
Tapi apakah banyak orang Afrika, atau Nigeria khususnya, menganggap Indomie produk mereka? Mengapa?
Akwasi Sarpong mengatakan, "sejauh yang saya tahu, itu memang produk Indonesia yang dipasarkan global termasuk di Nigeria, lokasi pabrik terbesar mereka di Afrika Barat karena pasar di sana memang besar," jelasnya.
"Satu hal tentang Nigeria adalah mereka pintar menjalankan strategi pemasaran sehingga bisa membuat konsumen percaya dan merasa memiliki produk itu sebagai produk mereka."