Bermodalkan Sepeda Motor, Htoi Lar Menolong Pengungsi Perang Kachin
Di sana ada lebih dari seratus ribu orang yang tinggal di tempat-tempat pengungsian dan sekarang harus hidup dengan jatah makanan yang berkurang.
TRIBUNNEWS.COM - Sejak tahun lalu, pemerintah Myanmar memblokir bantuan kemanusiaan termasuk makanan dan obat-obatan, masuk ke Negara Bagian Kachin. Ini membuat situasi di negara bagian utara Myanmar itu makin memburuk.
Di sana ada lebih dari seratus ribu orang yang tinggal di tempat-tempat pengungsian dan sekarang harus hidup dengan jatah makanan yang berkurang setengahnya.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Htoi Lar berusia 20-an tahun. Orangnya ramah, ceria dan banyak senyum. Dia membantu kaum muda yang mengalami trauma di kamp pengungsian. Melibatkan mereka dalam kegiatan musik, seni dan drama.
Dan untuk mengisi waktu senggang, dia suka keliling Kachin naik motor. Kegiatan ini katanya sudah lama menjadi bagian hidupnya.
Di Kachin perang sipil telah berlangsung sejak awal 1960-an, meski tidak berlangsung terus menerus.
Genjatan senjata antara pemerintah dan KIA atau Tentara Kemerdekaan Kachin berakhir pada 2011. KIA sudah lama mendorong kemerdekaan Kachin dan saat itu Htoi Lar baru saja tamat SMA.
Saat konflik mulai terjadi, Htoi Lar melompat ke sepeda motornya dan mengendarainya berhari-hari.
Ratusan ribu orang melarikan diri. Tapi daerah yang dikuasai KIA diblokir, satu sisi oleh tentara dan sisi lainnya perbatasan Tiongkok. Ribuan orang di negara bagian Kachin pun terperangkap.
Saat Htoi Lar melihat situasi ini, dia pun menuju hutan dan menolong warga dengan satu-satunya cara yang dia tahu. Dia memboceng pengungsi di motornya dan membawa mereka satu per satu ke tempat yang lebih aman.
Bila Htoi Lar membantu dengan sepeda motornya, Bawk Hkun membawa mobilnya turun gunung. Dia membantu para pengungsi keluar dari bahaya dan menjauhi pertempuran.
Enam tahun sejak konflik pecah kembali sudah lebih dari 120 ribu warga Kachin menjadi pengungsi.
“Para pengungsi ini merasa seperti tersesat dan mereka lelah. Selama hampir enam tahun ini mereka terpaksa harus melarikan diri berkali-kali,” tutur Bawk Hkun.
Bawk Hkun bekerja untuk LSM Kelompok Pembangunan Kachin. Ini adalah satu dari sembilan kelompok yang diijinkan bekerja di daerah yang dikuasai KIA.
Sejak awal tahun lalu, pemerintah meminta lembaga internasional untuk tidak lagi mengirimkan bantuan kemanusian, seperti makanan dan obat-obatan, ke daerah itu. Mereka berdalih ini demi keselamatan dan keamanan.
Ketika Program Pangan Dunia mengirim truk mereka ke wilayah ini pada 9 September lalu, truk-truk itu harus putar balik.
“Lembaga PBB tidak bisa datang secara langsung atau rutin. Tapi di daerah yang dikuasai pemerintah, mereka bisa masuk kapan pun mereka mau karena punya perjanjian dengan pemerintah. Tapi pemerintah tidak membolehkan mereka masuk ke wilayah yang dikuasai KIA,” jelas Bawk Hkun.
Mengeluarkan para pengungsi dari wilayah pertempuran sama artinya Bawk Hkun harus mempertaruhkan nyawanya.
Tapi dia tidak punya banyak pilihan. Situasi makin memburuk pasca blokade pemerintah, katanya, dan hanya sedikit orang yang mau melakukan hal ini. Bagi Bawk Hkun ini adalah perjuangan yang berat.
“Kadang saya merasa organisasi besar dan LSM internasional atau badan PBB, tidak peduli dengan apa yang dihadapi warga biasa. Itu karena lembaga-lembaga ini punya hubungan yang baik dengan pemerintah. Mereka bisa bekerja dan tinggal secara damai dan melakukan apapun yang mereka inginkan,” kata Bawk Hkun.
Ada ribuan pengungsi yang harus diurus sementara sumber daya makin berkurang.
Para pengungsi di Kachin sekarang bertahan hidup dengan kurang dari 20 sen sehari sementara jatah beras dan susu berkurang setegahnya.
Bawk Hkun dan LSM lokal lainnya juga berada di bawah pengawasan ketat tentara, yang terus memastikan jalur pasokan tetap diblokir.
Dalam beberapa bulan terakhir, tentara Myanmar mengintensifkan serangan mereka dengan meriam dan serangan udara. Beberapa juga khawatir blokade pasokan akan digunakan sebagai senjata perang.
Doug Gibbons yang bekerja untuk LSM internasional, Partners, mengaku, meski sudah bekerja di wilayah ini bertahun-tahun, lembaganya adalah salah satu yang terimbas pemblokiran.
“Sangat sulit untuk keluar masuk wilayah itu. Dan ini juga kami rasakan. Kami senang bila bisa melakukan lebih banyak pembangunan karena kami sudah bekerja di sana selama beberapa waktu. Tapi saat ini kami belum bisa,” jelas Doug Gibbons.
Meski lembaga kemanusiaan besar mematuhi perintah pemerintah, lembaga internasional lainnya terus mencari cara untuk terus membantu.
Selama perjalanan, saya mendengar cerita bagaimana beberapa lembaga menyelinapkan bantuan ke daerah KIA. Mereka berupaya membawa makanan dan pasokan medis secara rahasia meski dengan risiko besar.
Penulis: Kannikar Petchkaew/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)