Jumlah Lansia Penghuni Penjara di Jepang Meningkat, 70 Persennya Penjahat Kambuhan
Penjara di Jepang ternyata dihuni oleh residivis lanjut usia (lansia) yang berusia 65 tahun ke atas.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Penjara di Jepang ternyata dihuni oleh residivis lanjut usia (lansia) yang berusia 65 tahun ke atas.
Jumlahnya hampir lima kali lipat lebih banyak dibandingkan 20 tahun lalu dan sekitar 70 persen adalah penjahat kambuhan.
"Jumlah residivis lansia dua puluh tahun lalu (1996) hanya tercatat 517 orang. Namun per 31 Desember 2016 berjumlah 2.313 orang berada di penjara Jepang," ungkap sumber Tribunnews.com, Selasa (18/4/2017).
Dari jumlah tersebut ternyata sejak awal hingga kini rata-rata sekitar 70 persen adalah residivis kambuhan yang selalu membuat kejahatan dan masuk penjara lagi.
Mengapa residivis kambuhan banyak di Jepang?
"Umumnya mereka begitu ke luar penjara tak ada kerjaan, tak ada tempat tinggal, tak ada saudara yang mau menerimanya dan menganggap putus hubungan keluarga sehingga hidup sendiri tak ada yang melihat atau mengayominya lagi. Akibatnya banyak yang frustrasi dan sengaja membuat kejahatan supaya masuk penjara lagi," kata dia.
Satu contoh residivis yang baru saja ke luar tahun ini adalah Hisashi Sato (85) yang baru selesai menjalani hukuman penjara 10 tahun di penjara Kita Kyushu karena terbukti membakar stasiun kereta api JR Shimonoseki yang mengakibatkan kerugian sedikitnya 500 juta yen.
Sekitar 10 hari setelah ke luar penjara, Sato sengaja melakukan pembakaran stasiun tersebut karena tak ada tempat tinggal, frustrasi tak ada yang bisa diharapkan untuk kehidupannya.
Dua hari sebelum pembakaran bahkan dia mencuri di konbini (convenient store) ditangkap polisi dan setelah mendengar alasannya, dia diserahkan ke kantor wali kota untuk diarahkan ke Dinas Sosial Kesejahteraan.
Namun Dinas Sosial pun tak bisa berbuat banyak, menolak karena Sato tak punya alamat tinggal.
Akhirnya Sato dibebaskan dan terjadilah pembakaran Stasiun Shimonoseki malam harinya dan tentu saja Sato ditangkap lagi dan masuk penjara lagi 10 tahun lalu.
"Kalau saja waktu itu dia ada teman bisa curhat, pasti kejadian pembakaran itu tak akan terjadi karena temannya pasti akan menghalanginya," kata seorang pengurus yayasan sosial Tomo Okuda yang kini banyak membanto Sato.
Kini Sato membantu di yayasan tersebut, mencuci beras, dan dapat upah sedikit tetapi Sato sudah merasa senang.
Hidupnya pun di panti jompo yang dapat subsidi dari pemda setempat dan yayasan tersebut menjadi alamat serta jaminan terhadap Sato sehingga bisa tinggal di panti jompo tersebut.
"Ternyata hidup di luar penjara jauh lebih enak, saya tak mau masuk penjara lagi," kata Sato kepada pers.
Dalam kehidupannya di masa kecil, Sato sering mendapat perlakuan kasar dan keras dari keluarganya sampai perutnya sempat terbakar sehingga kelihatan bekas lukanya hingga kini.
Pertama kali masuk penjara saat berusia 22 tahun. Lalu sejak itu ke luar masuk penjara 50 kali dan 11 kali membakar bangunan atau lokasi tertentu.
Di penjara Obihiro Hokkaido saat ini 40 residivis berusia lansia namun mulai tahun lalu dilakukan program pendidikan sehingga bisa merasakan dirinya bermanfaat.
Membuat sesuatu dan produknya dijual kepada masyarakat, hasil penjualan sebagian diberikan kepada residivis tersebut karena barangnya terjual.
"Yang penting dia merasakan ada peranannya di masyarakat, punya kegiatan dan merasa berguna sehingga tidak akan melakukan kejahatannya lagi," kata Okuda.