Potret Kota Marawi: Ladang Pembantaian dan Monumen Kehancuran
Filipina menghadapi jalan panjang menuju pembangunan kembali. Namun tugas terbesar adalah meredam geliat terorisme yang tak kunjung padam.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, MARAWI - Setelah lima bulan dilanda perang, kota Marawi kini tinggal puing dan reruntuhan.
Filipina menghadapi jalan panjang menuju pembangunan kembali. Namun tugas terbesar adalah meredam geliat terorisme yang tak kunjung padam.
Ketika senjata berhenti menyalak dan tank-tank militer mulai kembali ke barak, Marawi perlahan mati dalam diam, seperti dilaporkan Deutsche Welle, Selasa (24/10/2017).
Selama lima bulan kota berpenduduk 200.000 jiwa itu berada dalam cengkraman sayap kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah ( ISIS).
Sudut kota yang tadinya ramai manusia, kini menjelma menjadi ladang pembantaian.
Lebih dari 1.000 kombatan, termasuk jihadis asing, melepas nyawa untuk Marawi.
Sekitar 600.000 penduduk yang hidup di dalam dan luar kota terpaksa mengungsi.
Infrastruktur vital seperti pembangkit listrik atau rumah sakit sejak lama berhenti beroperasi.
Serdadu di Garda Depan
Pemerintah Filipina memperkirakan pembangunan kembali kota Marawi akan menelan biaya hingga 1,1 miliar dollar AS.
Militer, polisi, dan pemadam kebakaran bahu membahu membangun kota dan desa-desa yang luluh lantak oleh perang.
Fokus terbesar saat ini adalah membersihkan semua kawasan dari ranjau warisan peperangan.
Setelah pemerintah di Manila mendeklarasikan kemenangan atas ISIS pada Selasa (24/10/2017), penduduk perlahan mulai kembali ke Marawi buat menata kembali kehidupan di antara reruntuhan perang.
Presiden Rodrigo Duterte menerbitkan perintah presiden buat membentuk satuan tugas pembangunan kembali Marawi dengan anggaran sebesar 20 miliar Peso atau sekitar 5,2 triliun Rupiah.