Meneliti SD Inpres, Ekonom Amerika Memperoleh Penghargaan Nobel
Duflo mengungkap peran SD inpres yang digagas oleh Presiden Soeharto dalam mengatasi kemiskinan
Editor: Eko Sutriyanto
Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Baca: Kisah Haru Saeful, Satpam Sekolah yang Dapat Rumah Mewah dari WOW Smartfren
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, ia mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8% hingga 10,6%.
Sejak tahun 70-an, tercatat Presiden Soeharto mulai gencar memberlakukan program Wajib Belajar selama 6 tahun di seluruh nusantara.
Sedangkan untuk sarana dan prasarananya, dengan menjalankan program SD Inpres yang merupakan kependekkan dari Sekolah Dasar Instruksi Presiden. Dalam program ini, tercatat hingga tahun 1994 telah berhasil membangun sekitar 150.000 unit SD di berbagai pelosok Nusantara.
Berkat semua kerja keras pemerintahannya meningkatkan mutu pendidikan, tanggal 19 Juni 1993 pak Soeharto dianugerahi penghargaan Avicienna dari UNESCO.
Penghargaan yang tak banyak diterima oleh pemimpin-pemimpin dunia saat itu.
Baca: Kabut Asap Renggut Hak Pendidikan Generasi Muda
Penghargaan bergensi itu diberikan karenan para ekonom itu dinilai berhasil membantu mengatasi masalah kemiskinan.
Ketiganya melahirkan suatu pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan yang melanda dunia khususnya negara-negara dunia ketiga.
"Para penerima penghargaan tahun ini telah memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memperoleh jawaban yang handal tentang cara terbaik untuk menangani kemiskinan global," kata para juri, seperti dikutip dari AFP, Selasa (15/10/2019).
Duflo menjadi wanita penerima Nobel Economics Prize kedua dalam 50 tahun penghargaan ini digelar.
Sebelumnya wanita yang pertama penerima penghargaan ini adalah Elinor Ostrom pada 2009.
Duflo (46) dan suaminya Abhijit (58) sama-sama profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sementara Kremer (54) adalah profesor di Harvard University.
"Ketiganya menemukan cara-cara yang lebih efisien dalam memerangi kemiskinan dengan mengubah isu-isu yang dipandang sulit menjadi pertanyaan yang lebih kecil dan lebih terkontrol, yang kemudian dapat dijawab melalui percobaan lapangan," kata para juri Nobel.
Dijelaskan, berbeda dari kebanyakan peneliti yang melihat masalah kemiskinan secara luas, ketiga ekonom ini fokus pada pendekatan atas isu-isu yang lebih spesifik seperti edukasi pada masyarakat miskin. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kinerja sekolah di daerah-daerah miskin untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sementara itu, dengan memenangkan hadiah nobel berarti ketiga ekonom itu akan mendapatkan uang senilai total sembilan juta kronor Swedia atau setara US$ 914.000 (Rp 12,7 miliar, kurs Rp 14.000).
Ketiganya juga akan menerima penghargaan dari Raja Carl XVI Gustaf pada upacara formal di Stockholm pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel yang meninggal pada tahun 1896.