Perang Dagang China di Balik Pembunuhan Qassem Soleimani, AS Cegah Nego Damai Iran-Saudi
Federico Piaracinni analis independent menguak misteri tentang latar belakang Iran Vs Amerika Memanas, terkait perang dagang China
Editor: Suut Amdani
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani meninggalkan misteri tentang apa latar belakang, maksud dan tujuan operasi keji yang dijalankan Pentagon dan CIA.
Betulkah hanya karena ambisi Donald Trump merebut simpati jelang Pilpres AS dan proses pemakzulan dirinya?
Benarkah ini murni konflik AS vs Iran?
Betulkah Qassem Soleimani dan Pasukan Quds sedang menyiapkan serangan khusus ke pasukan AS?
Ada apa di balik tragedi di Baghdad yg hampir menyulut perang besar ini?
Federico Piaracinni dari The Strategic Culture Foundation dan analis independent tentang geopolitik menulis di situs The Duran, Kamis (9/1/2020).
Sebab pembunuhan Qassem menurutnya jauh lebih pelik dari yang dibayangkan orang.
Peristiwa itu termasuk klimaks ketegangan antara Trump dan PM Irak Adil Abdul Mahdi.
Baca: Tanggapi Pernyataan Donald Trump, Komandan Iran Janjikan Pembalasan Keras
Spektrum peristiwanya menyangkut kepentingan besar China, Saudi Arabia, dan juga Qatar.
Kasusnya juga menyangkut bisnis migas Timur Tengah, pemenuhan infrastruktur dan kelistrikan di Irak, serta masa depan dolar AS sebagai alat transaksi dagang internasional.
Kok bisa? Begini konstruksi ceritanya menurut Pieracinni.
Kisah gelap ini sesungguhnya dibuka Adil Mahdi lewat serangkaian pernyataannya di televisi setelah Soleimani terbunuh.
Lebih detil lagi diungkapkan di parlemen Irak, meski usahanya membuka rahasia ini dihalang-halangi AS lewat Ketua DPR Irak, Mohammad al-Halboussi.
Tokoh ini berlatar Sunni, dan punya loyalis cukup kuat.
Gedung Putih menggunakan golongan ini untuk menekan Adil Abdul Mahdi.
Lantas kenapa Abdul Mahdi yang digencet?
Trump dan Abdul Mahdi selama berminggu-minggu ternyata terlibat pembicaraan sangat serius.
Aksi demonstrasi besar di Irak akhir tahun lalu, tak lepas dari masalah ini.
Baca: Pengamat Ungkap Keuntungan yang Didapat Iran dari Meninggalnya Qassem Soleimani, Apa?
AS memang ada di balik gerakan mendelegitimasi pemerintahan Abdul Mahdi dengan isu korupsi.
Persis seperti pola gerakan massa yang digunakan di Mesir 2009, Libya 2011, Maidan 2014.
Irak di tengah gejolak ini ternyata sedang bernegosiasi dengan China terkait proyek kelistrikan.
Dalam usaha membuka kedok hitam ini di parlemen dan kepada publik, Halboussi benar-benar berusaha mematahkannya.
Tapi Mahdi berusaha keras menyuarakan usaha Amerika untuk membuat Irak kembali hancur.
Washington ingkar janji terkait proyek pemulihan infrastruktur dan kelistrikan Irak.
Baca: Setelah Habisi Qassem Soleimani, Amerika Mengaku Siap Negosiasi dengan Iran
AS meminta bagian 50 persen pendapatan sektor minyak Irak, tapi Abdul Mahdi menolaknya.
Karena itulah Abdul Mahdi berpaling ke China, meneken perjanjian proyek konstruksi.
Sepulang dari Beijing, Trump menghubungi Abdul Mahdi, memintanya membatalkan kesepakatan tersebut.
Saat Mahdi menolaknya, Trump mengancam akan mendorong aksi massa lebih besar lagi di Irak, yang akan mengakhiri kekuasaan mereka di pemerintahan.
Termasuk menggunakan cara kotor guna memicu anarki.
Trump sekali lagi meminta Abdul Mahdi membatalkan kontraknya dengan China.
Tapi ia kembali menolaknya, dan mengajukan pengunduran diri.
Mahdi mengatakan, Gedung Putih hingga hari-hari tetap menginginkan perjanjian sektor konstruksi dengan China itu dibatalkan.
Baca: AS-Iran Memanas, KBRI Kairo Keluarkan Imbauan untuk WNI
Ia menambahkan, Menhan Irak sesudah itu secara terbuka menuduh pihak ketiga menargetkan sipil maupun aparat keamanan akan dijadikan tumbal saat aksi demo besar di seantero Irak berlanjut.
Sekali lagi Trump mengontak Abdul Mahdi dan mengancam akan membunuhnya berikut Menhan Irak jika terus mengungkapkan pihak ketiga di belakang aksi unjukrasa memprotes pemerintah Irak.
Tak seorangpun termasuk Abdul Mahdi membayangkan minggu-minggu penuh kesukaran di Irak itu akan berakhir pada pembunuhan keji Qassem Soleimani.
Abdul Mahdi pun tidak gampang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kisah kelam di balik krisis Irak, dan serangan militer AS pada tokoh Iran ini.
Pada esok hari setelah kedatangan Qassem Soleimani dari Beirut, Lebanon, Abdul Mahdi seharusnya bertemu dengan tamunya itu.
Kehadiran Soleimani di Baghdad adalah sebagai diplomat atau utusan Teheran.
Ia membawa misi penting bertemu utusan Kerajaan Saudi, guna mendiskusikan peredaan ketegangan di Timur Tengah.
Baca: Iran Hujani Rudal Ke Pangkalan AS di Irak, Pakar Timur Tengah: Qasem Soleimani Tokoh Besar Iran
Semua pihak sudah diberitahu mengenai pertemuan ini.
Ternyata Trump memotong usaha deeskalasi konflik oleh Iran dan Saudi, dan membunuh Qassem setiba di Bandara Baghdad.
Kerajaan Saudi secara cepat begitu Qassem terbunuh menegaskan, mereka tidak diberitahu Washington.
Saudi juga mengingatkan agar semua pihak menahan diri supaya konflik tidak mengguncang kawasan.
Pangeran Khalid bin Salman langsung terbang ke Washington, bertemu Trump dan lalu ke London.
Ia membawa pesan Pangeran Muhammad sebagai penguasa de facto Saudi, meminta agar Washington menahan diri supaya rakyat kawasan Teluk tidak jatuh dalam peperangan lebih menyakitkan lagi.
Saudi dan Iran agaknya telah menemukan jalan untuk meredakan konflik kawasan dengan perantara Irak.
Karena itu digelar pertemuan di Baghdad, dan Teheraj mengutus Qassem Soleimani.
Reaksi Riyadh terhadap pembunuhan Soleimani tidak menunjukkan kegembiraan atau sampai ada perayaan terbuka.
Baca: Trump: AS Akan Jatuhkan Sanksi Baru ke Iran Setelah Serangan Rudal
Qatar, yang masih bermasalah dengan Riyadh, juga menyatakan dukacita.
Menlu Qatar terbang langsung ke Teheran.
Langkah ini mungkin mengantisipasi jika Iran juga menargetkan Doha sebagai sasaran balas dendam.
Bagaimanapun, drone MQ1 Reaper yang membunuh Soleimani diterbangkan dari pangkalan militer AS di Al Udeid Qatar.
Dalam pidato nasionalnya, Trump menyinggung soal sumber minyak Timur Tengah.
Trump mengatakan AS tidak akan bergantung minyak dari kawasan itu, dan akan menyiapkan sumber energi mandiri.
Pernyataan ini menegaskan, AS sedang menghadapi problem serius ketika China kini menjadi pemimpin dagang sektor strategis di Timur Tengah, Afrika, maupun Amerika Selatan, khususnya Venezuela sebagai pemilik cadangan minyak terbesar kedua di dunia.
Venezuela, Rusia, Iran, Irak, Qatar dan Arab Saudi merupakan pemilik mayoritas cadangan minyak dan gas di dunia.
Tiga pihak pertama memiliki hubungan sangat kuat dengan Beijing.
China dan Rusia di sisi lain ingin konsolidasi lebih lanjut untuk memastikan pertumbuhan masa depan benua super Eurasia terbebas dari perang dan konflik.
Arab Saudi, di sisi lain pro-AS tetapi bisa condong ke kamp Sino-Rusia baik secara militer maupuj terkait sektor energi.
Proses yang sama sedang berlangsung dengan Irak dan Qatar berkat berbagai kesalahan strategis Washington di wilayah tersebut.
Pendudukan Irak sejak 2003, penghancuran Libya, Suriah dan Yaman sejak 2011, membuat negara-negara Teluk berusaha menyiapkan alternatif lain jika AS terus membabibuta.
Perjanjian Irak dan Cina di sektor konstruksi adalah contoh penting bagaimana Beijing bermaksud menggunakan troika Irak-Iran-Suriah untuk menghidupkan Timur Tengah dan menghubungkannya megaproyek Chinese Belt and Road Initiative.
Arab Saudi menjadi eksportir minyak terbesar untuk Cina, sedangkan Qatar dan Rusia muncul sebagai eksportir utama LNG ke Tiongkok.
Sektor gas ini sangat vital bagi China dan sesuai visi 2030 Xi Jinping yang ingin mengurangi secara drastis polusi udara di negaranya.
AS sama sekali tidak hadir dslam gambar besar masa depan ini.
Mereka memiliki sedikit kemampuan untuk mempengaruhi perubahan, atau menawarkan alternatif ekonomi yang lebih menarik.
Washington ingin mencegah integrasi Eurasia dengan menyulut kekacauan dan kehancuran di kawasan itu.
Pembunuhan Soleimani ada di rangkaian usaha itu.
Sulit bagi AS membayangkan jika mata uang dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai alat transaksi internasional.
Trump pun masuk ke pusaran masalah yang membuat AS seperti putus asa.
Trump dan para pembidiknya mungkin sangat percaya serangan drone-nya terhadap Soleani dapat menyelesaikan semua masalahnya dengan menakuti lawan-lawannya, memenangkan dukungan pemilihnya (dengan menyamakan pembunuhan Soleimani dengan Osama bin Laden)
Mereka mengirimkan peringatan kepada negara-negara Arab tentang bahaya memperdalam hubungan mereka dengan China.
Upaya Irak untuk memediasi perdamaian antara Iran dan Arab Saudi, menurut Federico Piaracinni, telah dibungkam AS dan Israel, untuk mencegah perdamaian menyeluruh di wilayah tersebut.
(Tribunjogja.com/xna)