Virus Corona Diprediksi Akan Hilang pada Mei 2020 karena Musim Panas? Berikut Penjelasannya
Namun penelitian terbaru dari para ahli menyebutkan, Virus yang disinyalir muncul pertama kali di Wuhan, China tersebut akan hilang pada Mei 2020.
Penulis: garudea prabawati
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Virus corona masih menjadi momok yang menakutkan bagi warga negara China, juga dunia.
Virus mematikan yang belum ada obatnya tersebut terbukti menjadi wabah yang merenggut ratusan korban jiwa.
Namun penelitian terbaru dari para ahli menyebutkan, Virus yang disinyalir muncul pertama kali di Wuhan, China tersebut akan hilang pada Mei 2020.
"Kasus-kasus infeksi virus corona mungkin turun tajam pada bulan Mei 2020, ketika suhu di China memanas," kata Dr Jyoti Somani dan Profesor Paul Tambyah, dilansir dari CNA, Kamis (6/2/2020).
Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa pola musiman pneumonia virus corona baru mungkin mirip dengan infeksi influenza dan SARS.
Dengan demikian kasus-kasus dapat turun tajam pada bulan Mei, ketika suhu di China memanas, sehingga dapat dikatakan penyebarannya tergantung dengan iklim.
Baca: Penyebaran virus corona Bisa Lewat Lift, Ahli Sebut Ruang Terbatas Paling Berbahaya
Di negara-negara dengan iklim sedang seperti China dan Amerika Serikat, musim flu biasanya dimulai pada bulan Desember dengan puncaknya pada bulan Januari atau Februari, setelah itu kasus berkurang.
SARS menghilang di musim panas utara tahun 2003 dan tidak muncul lagi secara signifikan sejak itu.
Faktor manusia juga dapat berkontribusi terhadap penyebaran influenza selama musim dingin karena lebih banyak waktu dapat dihabiskan di dalam ruangan, mungkin dalam hubungan yang lebih dekat dengan orang lain.
Studi yang dilakukan bertahun-tahun lalu menunjukkan bahwa virus corona "biasa" (yang merupakan salah satu penyebab flu biasa) dapat bertahan di permukaan 30 kali lebih lama di tempat-tempat dengan suhu 6 derajat Celcius.
Namun tak bertahan lama jika berada di tempat-tempat yang suhunya 20 derajat Celcius dan tingkat kelembaban tinggi.
Baru-baru ini, para ilmuwan dari Universitas Hong Kong (HKU) termasuk Profesor Malik Peiris dan Profesor Seto Wing Hong menunjukkan bahwa suhu rendah dan kelembaban relatif yang rendah memungkinkan virus SARS bertahan lebih lama daripada suhu dan kelembaban tinggi.
Baca: Antisipasi Penyebaran virus corona, Awak Kapal Dari Cina Dilarang Masuk Pelabuhan Tanjung Priok
Tim HKU berpendapat bahwa ini mungkin alasan mengapa negara-negara Asia Tenggara yang hangat dan lembab tidak memiliki wabah SARS, tidak seperti Hong Kong dan Singapura.
Jadi, seperti halnya dengan influenza, 2019-nCoV dapat melambat ketika matahari mulai bersinar lebih banyak dan cuaca menghangat di negara-negara beriklim sedang dan subtropis.
Baca: Waspadai virus corona, Turis China Bakal Dipulangkan dari Bali
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati) (Kompas.com/Nur Fitriatus Shalihah)