Kata WHO Soal Krisis Virus Corona: Perjalanan Kita Masih Panjang
Krisis global virus corona tidak akan berakhir dalam waktu dekat, dengan banyaknya negara yang masih dalam tahap awal pertarungan
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Krisis global virus corona tidak akan berakhir dalam waktu dekat, dengan banyaknya negara yang masih dalam tahap awal pertarungan, ujar pakar kesehatan WHO.
Pandemi Covid-19 telah membunuh lebih dari 180.000 orang dan menginfeksi lebih dari 2,6 juta orang di dunia.
Negara-negara berjuang untuk menekan penyebaran virus dengan langkah-langkah seperti social distancing dan lockdown, sambil terus mencoba untuk memperbaiki ekonomi mereka.
Beberapa negara mulai secara perlahan mengendorkan pembatasan ketika pemerintah mendapat tekanan dari berbagai sektor ekonomi yang macet gara-gara pembatasan atau penguncian.
Baca: WHO Tegaskan Corona Berasal dari Kelelawar, Bukan Buatan Labolatorium
Namun, seperti yang dilansir Arab News, kepala Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Rabu (22/4/2020) memperingatkan bahwa perjuangan dunia masih jauh dari selesai.
"Jangan salah: kita masih harus menempuh jalan panjang," ujar Ghebreyesus.
"Virus ini akan bersama kita untuk waktu yang lama."
"Sebagian besar negara masih dalam tahap awal epidemi mereka."
"Dan beberapa negara yang terdampak lebih awal, mulai pelahan bangkit."
Komentar itu muncul setelah direktur Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) meminta warga Amerika untuk bersiap menghadapi gelombang kedua infeksi virus corona yang mungkin lebih dahsyat lagi.
Baca: Jumlah Kasus Lampaui China, Bahan Dapur Ini Langsung Ludes Diborong Warga Amerika Di Tengah Pandemi!
Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia.
Tercatat lebih dari 46.500 kematian akibat virus corona dengan hampir 840.000 orang terinfeksi.
Para peneliti mengungkapkan bahwa kematian akibat Covid-19 pertama di negara itu terjadi beberapa minggu lebih awal dari yang diperkirakan.
Artinya, penghitungan AS saat ini meleset.
Kematian akibat Covid-19 yang baru dikonfirmasi pada 6 Februari dan 17 Februari berada di daerah Santa Clara, California.
Di sana, para peneliti Universitas Stanford menemukan bahwa jumlah kasus positif virus corona sebenarnya sebenarnya 50 kali lebih tinggi daripada angka resmi yang diumumkan.
Ledakan kasus virus corona di seluruh Amerika Serikat telah membanjiri fasilitas perawatan kesehatan, dari bagian yang paling berkembang seperti New York City hingga wilayah asli Amerika di Navajo Nation di barat daya.
Di Navajo Nation, kekurangan air mengalir dan infrastruktur yang buruk telah membuat situasi di sana lebih buruk.
"Di sini, di tengah-tengah negara yang paling kuat di dunia, Amerika Serikat, warga kami tidak memiliki keran untuk mencuci tangan dengan sabun dan air," kata Presiden Navajo Nation Jonathan Nez.
WHO dan pakar kesehatan lainnya telah memperingatkan bahwa tindakan pencegahan yang ketat seperti lockdown harus tetap harus dilakukan sampai ada pengobatan atau vaksin yang layak untuk virus corona.
Sementara itu, hingga kini, belum ada obat yang direkomendasikan secara resmi untuk mengobati virus corona.
Bahkan, dua jenis obat yang sebelumnya dinilai potensial menangani virus corona. justru tidak memberikan efek yang signifikan.
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, penelitian di China menemukan, obat HIV "Kaletra" dan obat influenza "Arbidol" tidak memiliki efek menyembuhkan pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan ke cukup parah.
Seperti yang dilansir Forbes, Selasa (21/4/2020), studi tersebut merupakan penelitian acak kecil.
Hasil studi dipublikasikan di jurnal Med by Cell Press.
Ada 86 pasien virus corona yang dilibatkan dalam studi tersebut.
Sejumlah 34 pasien menerima Kaletra (lopinavir/ritonavir), 35 orang menerima Arbidol (umifenovir), dan 17 pasien lainnya hanya menerima perawatan suportif dan bantuan oksigen jika diperlukan.
Baca: Aparat Penegak Hukum Diminta Tindaklanjuti Keterangan Erick Thohir Soal Mafia Impor Alkes dan Obat
Para peneliti menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam jangka waktu perawatan atau keparahan gejala mereka berdasarkan obat yang mereka minum.
Bahkan, beberapa peserta yang menggunakan Kaletra memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok terkontrol.
Studi lain tentang Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada Maret, juga menyimpulkan obat itu tidak efektif.
Meski penelitian menyebut obat itu tidak efektif, pasar gelap untuk obat ini telah muncul di seluruh dunia, termasuk di Rusia, NY Times mengabarkan.
Meskipun kecil, penelitian ini mendepak dua dari perawatan virus corona yang sebelumnya dinilai potensial.
Menurut FDA, hingga saat ini, tidak ada obat yang disetujui untuk mengobati COVID-19.
Baca: Tiba-tiba Populer Disebut sebagai Obat Virus Corona, Daun Laban Simpan Sejumlah Khasiat Ini
Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, pertama kali direkomendasikan oleh pemerintah China untuk pengobatan virus corona pada Januari lalu.
Obat itu menghentikan replikasi virus HIV.
Para pejabat berharap Kaletra dapat melakukan hal yang serupa terhadap virus corona.
Kaletra kini masih sedang dipelajari dalam setidaknya 10 uji klinis aktif di seluruh dunia, menurut ClinicalTrials.gov.
Sementara itu Arbidol, obat yang dibuat di Rusia, bekerja melawan influenza dengan cara mencegah virus menyatu dengan sel-sel di dalam tubuh.
Meskipun telah menunjukkan beberapa kemanjuran terhadap influenza dan penyakit lain termasuk virus Zika, FDA belum menyetujui penggunaan Arbidol di AS.
Meskipun ada banyak jenis obat yang diteliti dan diujicoba untuk perawatan Covid-19, belum ada obat yang mampu melawan virus corona.
Sebuah studi pracetak baru (bukan peer-review) yang diposting hari ini menunjukkan, hydroxychloroquine (hidroksiklorokuin), obat antimalaria yang digembar-gemborkan oleh Presiden Trump, juga tidak menunjukkan manfaat bagi pasien virus corona.
Bahkan hidroksiklorokuin malah membuat beberapa di antaranya makin memburuk.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)