Buntut Kerusuhan di Amerika, Donald Trump Akan Masukkan Kelompok Demonstran Ini Sebagai Teroris
Antifa atau akronim dari anti-fasis, merupakan payung dari pergerakan sayap kiri ekstrem tanpa adanya kepemimpinan yang pasti.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON DC - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan dia akan memasukkan kelompok Antifa (anti-fasis) sebagai teroris.
Pernyataan itu terjadi setelah AS dihantam demonstrasi besar di 30 kota, buntut kematian seorang pria kulit hitam bernama George Floyd.
Antifa atau akronim dari anti-fasis, merupakan payung dari pergerakan sayap kiri ekstrem tanpa adanya kepemimpinan yang pasti.
Kelompok itu menentang ideologi sayap kanan ekstrem, di mana mereka melawan neo-Nazi atau kelompok supremasi kulit putih dalam setiap aksinya.
Baca: Rusuh Berlanjut, Donald Trump Dilarikan ke Bunker Bawah Tanah Gedung Putih
Baca: Rusuh di Amerika, Kemlu RI Pantau Kondisi Ratusan WNI
Pengumuman Trump itu terjadi setelah demonstrasi memprotes kematian George Floyd, dan juga kabar kebrutalan polisi lainnya, berakhir dengan kerusuhan.
Tanpa menyertakan bukti, sang presiden dan beberapa pembantunya, termasuk Jaksa Agung William Barr, menyalahkan kelompok Antifa.
Dilansir Al Jazeera Minggu (31/5/2020), Gedung Putih menyebut kelompok itu sebagai "penghasut" karena memimpin protes di sejumlah tempat.
"Amerika Serikat akan memasukkan Antifa sebagai organisasi teroris," ujar presiden berusia 73 tahun itu dalam kicauannya di Twitter.
The United States of America will be designating ANTIFA as a Terrorist Organization.
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) May 31, 2020
Sementara Barr dalam keterangan tertulis menyatakan, aksi organisasi itu dan kelompok lainnya dikategorikan sebagai terorisme domestik.
Namun, analis maupun pakar hukum menyebut Trump tidak punya kewenangan memasukkan grup domestik sebagai teroris, seperti yang mereka lakukan di luar negeri.
"tidak ada dasar hukum saat ini yang menyatakan dengan jelas terkait bisa dimasukannya organisasi domestik sebagai teroris," ulas Mary McCord, mantan pejabat Kementerian Kehakiman.
McCord, yang sebelumnya pernah bertugas di pemerintahan Trump, menjelaskan jika keputusan itu dipaksakan, maka bertentangan dengan Amendemen Pertama.