Ada Solidaritas, Kemarahan dan Kesedihan dalam Unjuk Rasa Bela Floyd di London
"Semua teman saya, sejak ini, kita tidak merasakan hal yang sama. Ini seperti rasa sakit yang melalui kita semua pada waktu yang sama," jelasnya
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
"Saya tidak ingin mulai menangis," katanya tentang situasi di Amerika Serikat.
"Itu hanya akan membuat darah saya mendidih," ucapnya.
Floyd meninggal setelah seorang polisi kulit putih menindih lehernya dengan lutut selama hampir sembilan menit di Minneapolis pada 25 Mei.
Kematiannya telah memicu kemarahan masyarakat di Amerika Serikat dan dunia atas diskriminasi ras dalam sistem peradilan pidana AS dan menimbulkan pertanyaan tentang rasisme di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, ada sebagian besar aksi damai untuk mendukung Floyd masih berlanjut, meskipun ada beberapa orang telah melakukan vandalisme, pembakaran dan penjarahan.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan pada hari Rabu (3/6/2020), kehidupan warga kulit hitam penting.
Karena itu ia mendukung hak untuk melakukan aksi protes dengan cara yang sah dan tetap menjaga jarak di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
"Tentu saja, kehidupan warga kulit hitam penting dan saya benar-benar memahami kemarahan, kesedihan yang dirasakan, tidak hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia dan di negara kami juga," katanya.
Sebelumnya pada Minggu (31/5/2020), ratusan orang berunjuk rasa di London dan Berlin sebagai solidaritas kematian George Floyd, yang terekam di video terengah-engah saat polisi kulit putih menekan lehernya dengan lutut di Minneapolis.
Baca: George Floyd Positif Covid-19, Hasil Autopsi Sebut Kemungkinan Dia Sebagai Carrier Virus
Para pengunjuk rasa berlutut di Alun-alun Trafalgar, di pusat Kota London, dengan meneriakkan "Tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian".
Mereka lantas bergerak melewati Gedung Parlemen dan mengakhiri aksinya di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat. (AFP/Reuters)