PBB Soroti Rasisme yang Memicu Kerusuhan di Amerika
Beberapa orang pun dinyatakan tewas dalam kerusuhan itu, sementara puluhan lainnya terluka.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Rasisme struktural dan ketidaksetaraan mencolok yang selama ini terjadi di Amerika Serikat (AS) disebut menjadi akar dari protes besar-besaran yang berlangsung saat ini di negara itu.
Seperti yang disampaikan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet.
Ia juga menilai bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan reformasi yang memiliki jangkauan luas.
Dikutip dari laman Russia Today, Kamis (4/6/2020), protes terkait kematian George Floyd, seorang warga keturunan Afrika-Amerika yang tewas akibat penganiayaan oleh seorang polisi di Minneapolis, telah mencapai proporsi yang sedemikian rupa sehingga menarik perhatian Dewan HAM PBB.
Bachelet mengatakan bahwa aksi demonstrasi yang kerap berujung kerusuhan dengan kekerasan, jelas menunjukkan kemarahan warga AS yang telah mencapai puncaknya.
Selain itu, masalah ketidaksetaraan yang mengakar di Amerika juga tidak bisa diabaikan lagi.
"Suara-suara yang menyerukan diakhirinya pembunuhan terhadap orang-orang Afrika-Amerika yang tidak bersenjata, perlu didengar. Suara-suara yang menyerukan diakhirinya kekerasan polisi perlu didengar. Dan suara-suara yang menyerukan diakhirinya rasisme endemik dan struktural yang merusak masyarakat AS perlu didengar," kata Bachelet, dalam sebuah pernyataannya.
Ia juga menampik tudingan bahwa semua upaya yang menggambarkan sikap simpati secara massal ini adalah agenda yang diam-diam dipicu beberapa kekuatan politik.
Sebelumnya, beberapa tokoh publik di AS mengklaim miliarder kontroversial, George Soros kemungkinan memiliki andil dalam perkembangan situasi panas di negeri paman sam.
"Tidak ada keraguan tentang apa atau siapa yang ada 'dibalik' aksi protes ini. Kami telah melihat ribuan pemrotes damai, dari berbagai latar belakang, turun ke jalan untuk menuntut hak-hak mereka dan menyerukan perubahan," tegas Bachelet.
Sebagai gantinya, Bachelet pun mendesak AS untuk mengambil pelajaran dari masa lalu dan mengakui masalah yang terjadi saat ini adalah karena adanya ketidaksetaraan yang mencolok antara warga kulit putih dan kulit hitam.
"Kemarahan yang kita lihat di AS, menunjukkan mengapa reformasi yang luas dan dialog inklusif diperlukan di sana. Ini untuk memutus siklus impunitas atas pembunuhan yang dilakukan oleh polisi dan bias rasial dalam institusi kepolisian," jelas Bachelet.
Bachelet memperingatkan bahwa diskriminasi di AS tidak hanya meracuni hubungan antar ras saja.
Namun juga ada 'faktor sosial-ekonomi' juga, sehingga ia mendesak pihak berwenang untuk mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.
Perlu diketahui, aksi unjuk rasa solidaritas terhadap Floyd dan warga Afrika-Amerika lainnya yang terbunuh oleh polisi telah digelar pada ratusan kota di 50 negara bagian AS selama sepekan terakhir.
Dengan meningkatnya ketegangan, beberapa aksi protes ini pun berubah menjadi kerusuhan dan bentrokan dengan aparat penegak hukum, sementara aksi lainnya diakhiri dengan penjarahan dan pengrusakan properti.
Akibatnya, banyak otoritas negara bagian yang memanggil Garda Nasional untuk mengendalikan situasi ini.
Beberapa orang pun dinyatakan tewas dalam kerusuhan itu, sementara puluhan lainnya terluka.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump telah mengerahkan pasukan militer ke ibu kota AS, Washington DC dan mengancam akan mengirimkan pasukan yang sama ke negara bagian lainnya jika aksi rusuh ini tidak segera dihentikan.