Joe Biden-Kamala Harris Akan Membuat Amerika Serikat Lebih Intervensionis
Pernyataan Biden tentang Turki dan, lebih khusus lagi, menentang Presiden Recep Tayyip Erdoğan, menurut Kose, telah memicu masalah di Turki.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, ISTANBUL – Kolumnis surat kabar Daily Sabah di Turki, Talha Kose, lewat artikel yang dipublikasikan di laman media tersebut, Selasa (25/8/2020), memandang pesimistis Joe Biden.
Jika Joe Biden bersama Kamala Harris terpilih di Pemilu AS 3 November 2020, prospek politik luar negeri Amerika akan lebih intervensionis.
Gelagat dan tabiat telah ditunjukkan lewat rekam jejak Biden selama terlibat politik AS. Bahkan Biden dua periode (8 tahun) mendampingi Barrack Obama sebagai wakil presiden.
Tabiat dan narasi Biden dicatat Talha Kose dalam beberapa kesempatan menyangkut pandangan dan kebijakan politik terhadap Turki.
“Selama pertemuan dengan editor The New York Times tujuh bulan lalu, Joe Biden menyebut Presiden Recep Tayyip Erdoğan sebagai otokrat,” kata Talha Kose.
Biden menurut Talha Kose mengkritik Turki karena hubungan konstruktifnya dengan Moskow, dan kebijakan Ankara di Suriah timur laut (konflik melawan etnis Kurdi).
Biden juga berjanji mendorong dan menawarkan lebih banyak dukungan terbuka kepada oposisi di Turki, jika dia menang melawan Donald Trump.
Pernyataan Biden tentang Turki dan, lebih khusus lagi, menentang Presiden Recep Tayyip Erdoğan, menurut Kose, telah memicu masalah di Turki.
Komentar Biden menurutnya mengganggu. Gagasannya melibatkan diri dalam politik Turki telah memicu kemarahan.
Pandangan yang tidak diplomatis seperti itu menurut Talha Kose, merupakan kesalahan besar bagi seorang calon presiden yang terkenal karena daftar panjang kesalahan politiknya.
Baca: Perjanjian Laussane 24 Juli 1923, Turki Modern, dan Politik Agresif Presiden Erdogan
Baca: Parlemen Turki Sahkan UU yang Beri Legalitas Erdogan Kontrol Ketat Media Sosial
Rangkaian intervensi liberal Washington sejak 1990-an telah meninggalkan warisan yang mengerikan dan membuat banyak negara tidak stabil.
Biden, dengan demikian, mengisyaratkan dukungannya untuk intervensionisme yang lebih luas dan keterlibatan yang lebih dalam dalam politik domestik negara lain jika dia berhasil dalam pemilihan presiden.
Pernyataan tersebut mungkin dapat dianggap sebagai bagian dari kampanye kehumasannya, namun pandangan tersebut juga menguraikan pola pikirnya sebagai politikus kuno.
“Sulit mengubah pola pikir seorang politikus yang hampir berusia 80 tahun,” lanjut Kose. Para aktor politik pro-pemerintah maupun oposisi di Turki menurut Kose mengutuk komentar arogan Biden.
Sudah ada keraguan mendalam di Turki tentang warisan negatif kepemimpinan Barack Obama dalam hubungan Turki-Amerika.
Upaya kudeta gagal dari Gülenist Terror Group (FETÖ) pada 15 Juli 2016, sering dikaitkan dengan keterlibatan Washington selama kepemimpinan Obama.
Biden adalah satu di antara aktor yang mengatur intervensi tersebut selama perannya sebagai senator dan wakil presiden.
Biden menurut Kose, diyakini satu di antara aktor utama di balik kebijakan luar negeri Obama dan dengan demikian bertanggung jawab atas kemerosotan hubungan Turki-Amerika.
Masa jabatan kedua kepresidenan Obama secara khusus menandai salah satu periode terendah hubungan Turki-Amerika selama beberapa dekade.
Washington mensponsori PKK/YPG, dan terus melindungi dan mendukung anggota FETÖ sambil mencoba menahan Turki dengan mendukung pesaing regionalnya.
Di depan media, Biden menurut Talha Kose, akan menggulingkan Erdogan dengan mendukung oposisi, tetapi dia juga memberi sinyal intensifikasi dukungan untuk organisasi teroris yang menargetkan Turki.
Menurut jajak pendapat publik, lebih dari 80 persen populasi Turki menganggap Washington sebagai musuh Turki daripada sekutunya.
Ini terutama karena intervensi destruktif Washington terhadap urusan internal Turki dan mensponsori musuh internasional Turki.
Dengan demikian, komentar Biden juga tidak membantu partai oposisi di Turki.
Lebih lanjut Kose menyatakan, lebih menakutkan keseluruhan sikap Biden, mengingatkan gaya intervensionisme liberal.
Gaya itu telah menyeret Washington ke perang yang tidak dapat dimenangkan di Timur Tengah dan Afghanistan.
Biden telah terlibat di Washington sebagai tokoh penting yang menangani file kebijakan luar negeri selama lebih dari 40 tahun.
Dia mengalami warisan era Perang Dingin, hegemoni liberal Amerika pasca-Perang Dingin, dan situasi pasca serangan 9/11.
Intervensi liberal dan kebijakan luar negeri liberal Amerika menurut Kose tidak berlangsung lama, dan meninggalkan kekacauan.
Banyak analis liberal berasumsi dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih damai jika sistem demokrasi liberal berlaku sebagai arus utama ideologis di seluruh dunia.
Intervensi bersenjata atau tidak bersenjata ke dalam politik domestik dengan berbagai cara untuk mengubah rezim menjadi mode di kalangan pembuat kebijakan di Washington, sebagian Eropa.
Sementara perubahan telah dicapai melalui pemilu atau gerakan protes populer di beberapa negara, warisan keseluruhan dari intervensi liberal cukup suram.
Beberapa pemimpin otoriter, seperti Saddam Hussein dari Irak dan Moammar Khadhafi dari Libya telah digulingkan dengan cara seperti itu.
Sanksi telah melemahkan beberapa rezim otoriter, namun intervensi ini tidak membantu menyelesaikan konflik apa pun dan tidak membuat dunia menjadi tempat yang lebih damai dan lebih stabil.
Intervensi liberal telah meninggalkan warisan bencana di wilayah tersebut. Washington telah menggunakan masyarakat sipil, mendukung media oposisi, melatih dan memobilisasi gerakan oposisi dan mensponsori separatis etnis, agama dan ideologis sebagai beberapa metodenya.
Semua intervensi itu telah dilegitimasi atas nama upaya demokratisasi. Rezim otokratis seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi juga telah membentuk liga otoriter dan berinvestasi lebih banyak daripada yang dimiliki aktor liberal dalam agenda mereka sendiri.
Intervensionisme liberal mendorong kontra-intervensionisme otoriter ini. Hasil keseluruhan dari semua manuver itu adalah wilayah yang jauh lebih tidak stabil.
Washington kata Kose, dapat membantu merangsang perubahan konstruktif dalam ekonomi global dan mensponsori atau memimpin prakarsa perdamaian.
“Tetapi memihak dalam urusan domestik negara lain dan konflik internasional akan menjadi bumerang,” katanya.
Washington masih merupakan negara adidaya, namun bukan lagi aktor yang dapat membentuk politik internasional secara sepihak.
Intervensi Washington akan memicu intervensi balasan dari aktor lain seperti Rusia dan China dan akan menjadi bumerang.
“Internasionalisme dan investasi dalam norma dan institusi yang mempromosikan perdamaian dan stabilitas harus menjadi prioritas Washington, daripada siklus intervensionisme lainnya,” kata Kose.(Tribunnews.com/DailySabah/xna)