Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)
Radikalisme atas nama agama tumbuh subur di Eropa. Kebebasan ala barat membuat ideologi intoleran ini berkembang biak, memunculkan bahaya maut.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Samuel Paty, seorang guru sejarah di Prancis, tewas dipenggal pemuda berdarah Chechnya. Aksi ini menyodorkan fakta betapa paham radikal begitu dalam menyusupi bangsa Prancis. Omar Nasiri lewat bukunya “Inside The Jihad: A Spy’s Story”, menguak bagaimana kaum radikalis bekerja di Eropa. Banyak hal bisa dicegah, termasuk serangan maut 9/11 ke New York, jika saja Nasiri tak diremehkan.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Omar Nasiri mengangkat gagang telepon di rumahnya, menghubungi nomer kontaknya di dinas intelijen Jerman.
Beberapa menit sebelumnya, ia mendengar dari radio, sebuah pesawat menabrak menara kembar WTC di jantung megapolitan New York.
Saat itu Nasiri sedang menyetir mobil, dalam perjalanan menjemput istri dari tempat kerjanya. Di perjalanan pulang, istrinya juga menduga peristiwa itu kecelakaan biasa.
Tapi tidak bagi Omar Nasiri. Ia tahu itu bukan kecelakaan. Itu bukan ketidaksengajaan. Ia tahu itu apa, dan siapa yang melakukan. Bahkan sebelum pesawat kedua menghantam menara yang sama.
"Kau tahu siapa yang melakukannya? Kau tahu pembajak itu?" tanya intel Jerman dari seberang telepon begitu menerima panggilan Nasiri. "Tidak," jawab Nasiri.
"Tapi aku tahu siapa di balik semua ini. Aku tahu kenapa mereka melakukannya. Aku tahu orang-orang ini, dan aku tahu apa yang mereka pikirkan," jelasnya.
Ia diam sejenak. "Aku mau membantu!" tegas Nasiri. Hening, sebelum sejenak orang di seberang telepon menjawab pendek.
"Kami akan menelponmu kembali, kalau kami memerlukan." Bunyi klik dan dengungan panjang menyudahi percakapan.
Sejak bunyi klik dan dengungan panjang itu, Omar Nasiri tak pernah mendengar lagi panggilan dari kontaknya. Juga panggilan dari manapun, baik dinas rahasia Prancis DGSE maupun badan rahasia INggris MI5.
Nasiri Lahir di Maroko Digembleng di Belgia
Omar Nasiri bukan orang sembarangan. Ia lahir di Maroko, dan menghabiskan masa kecilnya di sana. Umur 5 tahun, ia menyusul ayahnya yang bekerja di Brussel, Belgia.
Dari negeri itulah, ia ditempa hingga pribadinya menjadi setengah Arab dan setengah Eropa. Sebuah kemujuran yang akan membantunya di kelak kemudian hari.
Masih tentang orang-orang yang menyerang New York pada 9 September 2001, Omar Nasiri mengatakan, ia pernah tidur, makan, hidup bersama mereka.
Ia bahkan tinggal di rumah yang dijadikan markas para militan, untuk bercengkerama, rapat, dan mencetak buletin jihad mereka. Nasiri pun pernah ikut mengedarkan pamflet propagandanya.
Kisah perubahan hidupnya diawali ketika ia berusia 26 tahun. Ia menerima kenyataan adik bungsunya, Adil, tewas akibat kecelakaan senjata di Belgia.
Nasiri ketika itu tinggal di Tangier, Maroko. Ia hidup di jalanan, bekerja apa saja demi uang setelah tak lagi ikut kapal pesiar. Kakak sulungnya, Hakim, tinggal di Brussel bersama ibu dan beberapa adiknya.
Hakim mengantar pulang jenazah Adil, yang dimakamkan di Tangier. Itulah kesempatan pertama Nasiri bertemu sang kakak setelah bertahun-tahun.
Ia mendapati Hakim sangat berubah. Segalanya. Sikap , gaya hidup, dan perilakunya. Jenggotnya panjang, mengenakan djellaba, dan selalu menggigit siwak.