Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)
Radikalisme atas nama agama tumbuh subur di Eropa. Kebebasan ala barat membuat ideologi intoleran ini berkembang biak, memunculkan bahaya maut.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Sesudah pemakaman adiknya, Hakim mengajak Nasiri ke Casablanca. Nasiri menolak karena ia punya rencana lain. Hakim memaksa, dan Nasiri pun sulit menyanggahnya.
Hakim ingin mengajak Nasiri bertemu teman-temannya, dan ia mengulang pesan supaya Nasiri berubah. Ia ingin membantu mengubah hidupnya.
“Sekarang ini kau taghut,” tuduh Hakim. “Kau mesti kembali ke jalan Allah,” imbuhnya tegas. Nasiri terdiam tak mengerti apa yang diucapkan kakaknya.
Mereka tiba di Casablanca, bertemu sekelompok teman Hakim di sebuah masjid. Lalu mereka kembali ke Tangier, dan Nasiri dititipkan Hakim ke tengah-tengah kelompok itu.
Nasiri menjalani kehidupan relijius. Semua kebiasaan bebasnya harus dilepaskannya. Merokok, minum, begadang, tidur bersama cewek-cewek yang disukainya.
Hakim membimbing dan mengawasinya. Hakim menjelaskan tentang jihad, penyerahan total kepada Tuhan, ketidakadilan yang menimpa umat Islam di dunia.
Saat itu akhir 1993, dan perang berkecamuk di Bosnia. Nasiri telah memiliki pengetahuan cukup banyak tentang perang Afghanistan. Ia membenci tentara Uni Soviet.
Sebaliknya, ia takjub pada para mujahidin, dan negeri Afghanistan yang elok perkasa alamnya. Tapi ketika Soviet mundur, dan sesama mujahidin saling bunuh, Nasiri kehilangan respeknya.
Ia kerap bertengkar dengan Hakim, yang begitu memuji Gulbudin Hekmatyar, panglima perang sebuah kelompok mujahidin Afghanistan. Nasiri menganggap Hekmatyar itu seseorang yang memalukan.
“Aku ingin ke Bosnia,” kata Nasiri menjawab pertanyaan Hakim tentang apa yang hendak ia lakukan dengan masa depannya. Saat itu Hakim mengajak Nasiri ke Belgia.
“Tak semudah itu. Kamu harus lulus ujian sebelum kau siap berjihad,” tukas Hakim. Sebulan kemudian mereka terbang ke Brussel.
Nasiri menatap bumi Maroko dari ketinggian udara saat pesawat melesat meninggalkan Casablanca. Ia merasa itulah saat terakhir ia mengenang tanah airnya.
Keganjilan terjadi saat pesawat mendarat di Brussel. Ia dijemput adiknya, Nabil. Tapi tak dilihatnya Hakim, meskipun saat boarding ia jelas melihat sang kakak masuk kabin.
Duduknya jauh di belakang. Nasiri rupanya sama sekali melewatkan momen saat sekelompok polisi rahasia Maroko menarik turun Hakim dari pesawat. Ia ditangkap.