Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)
Radikalisme atas nama agama tumbuh subur di Eropa. Kebebasan ala barat membuat ideologi intoleran ini berkembang biak, memunculkan bahaya maut.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Tapi itu tidak lama. Hakim dibebaskan dengan jaminan. Ia terbang ke Brussel, berkumpul bersama keluarga dan teman-temannya.
Fanatisme Agama dan Perang di Aljazair
Suatu hari, Nasiri mendapati dua teman Hakim berada di rumah ibunya. Amin dan Yasin, keduanya orang Aljazair, tapi sudah seperti orang Eropa.
Mereka sangat fasih berbahasa Prancis. Amin terlihat sangat dihormati. Ia pria yang perlente, berpakaian ala Eropa, dan tampak sangat percaya diri.
Dua telepon seleler ada di genggamannya. Jelas sebuah kemewahan untuk zamannya waktu itu. Hakim, Amin, dan Yasin bercakap banyak hal, terutama tentang fanatisme agama, serta perang di Aljazair.
Mereka juga membicarakan logistik, mobil-mobil yng melaju dari Prancis ke Jerman, serta tetek bengek lainnya yang membuat Nasiri tidak mengerti.
Hingga suatu hari, Nasiri mendengar percakapan mereka tentang Kalashnikov dan peluru. Amin dan Yasin sedang mencari sumber pembelian.
Nasiri menyela, mengatakan ia berminat mencarikan barangnya. Amin dan Yasin tersenyum menyepelekan.
Satu hal yang tidak mereka tahu tentang Nasiri, pemuda itu pernah bertahun-tahun hidup di jalanan, bertemu penjual obat bius, narkotika, pelacur, dan juga pedagang senjata ilegal.
Nasiri tahu persis perilakunya, caranya bernegosiasi, dan yang pasti Nasiri tahu tentang senjata. Saat kanak-kanak, ia tinggal bersama sayah angkatnya di Belgia, yang mengajarinya tentang senjata.
Singkat cerita, di Brusssel, meski ia baru sebulan tiba di kota itu, Nasiri menemukan kontak pedagang senjata dari penjual kokain di Schaerbeek, distrik yang dipenuhi imigran Arab dan Afrika Utara.
Di situlah tempat orang berburu narkoba dan pelacur. Lewat pertemuan berulang-ulang dan penuh lika-liku, Nasiri akhirnya mendapatkan 5.000 butir peluru Kalashnikov.
Ia menyorongkan belanjaannya ke Yasin. Orang itu takjub, tidak percaya Nasiri mampu melakukannya secepat itu. Sejak itu, daftar belanjaan Nasiri bertambah banyak.
Ia tahu, puluhan ribu peluru telah dikapalkan ke luar Belgia, kebanyakan ke Aljazair. Nasiri diam-diam mereguk fulus dari pembelian amunisi itu.