Ahli: Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Tak Akan Gagalkan Program Nuklir
Ahli mengatakan, meski ada kebijakan tekanan maksimun dari Presiden Donald Trump, pembunuhan ilmuwan senior Iran tak akan menggagalkan program nuklir
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Ahli mengatakan, meski ada kebijakan 'tekanan maksimun' dari Presiden Donald Trump, pembunuhan ilmuwan senior Iran tak akan menggagalkan program nuklir Teheran.
Pembunuhan ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh pekan lalu membuka betapa rentan keamanan Iran.
Meski demikian, Direktur Kebijakan Nonproliferasi yang di wadahi Asosiasi Pengendalian Senjata, Kelsey Davenport menegaskan, program nuklir Iran akan terus berlanjut.
"Meski pembunuhan ilmuwan nuklir Iran itu merupakan pukulan simbolis dan tekanan psikologis, secara fundamental tak mengubah fakta bahwa Iran memiliki kemampuan senjata nuklir," paparnya.
Mengutip NBC News, menurut pemerintah Iran, Mohsen Fakhrizadeh tewas pada Jumat (27/11/2020) dalam serangan mobil di Damavand County, timur Teheran.
Baca juga: Bentrok Parlemen dan Pemerintah Iran, Bagaimana Nasib Perjanjian Nuklir Iran?
Baca juga: Tak Butuh Waktu Lama, Iran Berhasil Identifikasi Pelaku Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Mohsen Fakhrizadeh
Mohsen Fakhrizadeh Disebut Mengawasi Program Nuklir Rahasia Iran
Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Barat percaya bahwa Mohsen Fakhrizadeh mengawasi program senjata nuklir rahasia.
Menurut Badan Intelijen AS, program senjata nuklir Iran ditutup pada 2003 lalu.
Program nuklir non-militer dilaporkan berlanjut setelah 2003, AS dan lainnya khawatir program nuklir ini menjadi kedok untuk proyek senjata.
Badan Energi Atom Internasional PBB pun mencurigai Mohsen Fakhrizadeh mengelola upaya klandestin, untuk memasang hulu ledak pada rudal balistik dan menguji bahan peledak tinggi yang cocok untuk senjata nuklir.
Dalam laporan 2011, IAEA mengatakan, bahwa beberapa pekerjaan terkait senjata dilanjutkan dipimpin Mohsen Fakhrizadeh sebagai kepala penyelenggara.
Iran menyangkal pernah memiliki program senjata nuklir dan menuduh Israel mendalangi pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh pekan lalu.
Baca juga: Kazan, Kapal Selam Nuklir Tercanggih Buatan Rusia dengan Daya Tempur Mematikan
Israel Tolak Berkomentar atas Tewasnya Ilmuwan Nuklir Iran
Sementara itu, Israel menolak mengomentari insiden tewasnya ilmuwan nuklir tersebut.
"Iran selalu menyatakan bahwa program nuklir kami adalah untuk tujuan damai," kata Alireza Miryousefi, Juru Bicara misi Iran untuk PBB.
Dia mengutip fatwa dari pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei, yang melarang pengembangan senjata pemusnah massal karena bertentangan dengan Islam.
"Terlepas dari pengetahuan kelembagaan Mohsen Fakhrizadeh dan koneksi kuat dalam rezim, pekerjaan nuklir Iran, yang telah berlangsung selama beberapa dekade, tidak bergantung pada satu ilmuwan," kata Davenport.
"Tidak mungkin bahwa 'kehilangan' satu orang akan menjadi pukulan maut bagi kemampuan Iran untuk mengejar senjata nuklir jika itu memilih untuk melakukannya," katanya.
"Saya tidak melihatnya sebagai pengubah permainan dalam pengertian itu," ucapnya.
Baca juga: Eropa Didesak Tetapkan Peta Jalan Kesepakatan Nuklir Iran dan Tarik AS untuk Rekonsiliasi
Mohsen Fakhrizadeh Bukan Ilmuwan Nuklir Pertama yang Dibunuh
Untuk diketahui, Mohsen Fakhrizadeh bukanlah ilmuwan nuklir senior pertama yang terbunuh di Iran.
Beberapa ilmuwan nuklir Iran tewas selama pemerintahan Obama.
Selain itu, fasilitas nuklir telah dilanda sabotase selama dekade terakhir.
"Tetapi pekerjaan nuklir Iran terus berlanjut dan pengetahuannya tetap utuh," kata para ahli.
Jeffrey Lewis, seorang ahli pengendalian senjata dan profesor di Institut Studi Internasional Middlebury memberikan tanggapan lewat cuitan Twitter.
"Pada 2011, sebuah ledakan menewaskan anggota tim yang mengawasi program rudal jarak jauh Iran, tetapi proyek tersebut segera kembali ke jalurnya," ungkap Lewis lewat unggahan Twitter.
"Iran mengganti tim, menyelesaikan fasilitas baru di dekat Shahrud dan mulai menguji rudal propelan padat berdiameter besar," tulis Lewis dalam twit.
Lewis pun menambahkan, Iran akan dapat melanjutkan program senjata nuklirnya jika itu yang Ayatollah Khamenei pilih untuk lakukan.
Baca juga: Pejabat Senior Teheran: Oposisi Iran dan Israel Dicurigai dalam Kasus Pembunuhan Ilmuwan Nuklir
Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Dikhawatirkan Picu Pembalasan Iran
Mantan pejabat AS dan diplomat Eropa khawatir bahwa pembunuhan itu dapat memicu pembalasan oleh Iran.
Tak hanya itu saja, para ahli khawatir pembunuhan ilmuwan nuklir Iran juga merusak rencana Presiden terpilih AS Joe Biden untuk menghidupkan kembali diplomasi dengan Teheran.
Mereka mengatakan, pembunuhan ilmuwan nuklir tampaknya merupakan upaya untuk melemahkan presiden berikutnya.
Biden telah berjanji untuk mengembalikan Amerika Serikat ke perjanjian nuklir 2015, yang dikenal sebagai JCPOA.
Perjanjian nuklir tersebut memberlakukan batasan ketat pada pekerjaan nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi ekonomi.
Sebelumnya, Trump menarik Amerika Serikat dari kesepakatan multinasional pada 2018 lalu.
Sejak itu, Iran semakin melanggar ketentuan perjanjian, melampaui batas pengayaan uranium dan sentrifugal.
Baca juga: Iran Mulai Prosesi Pemakaman Ilmuwan Nuklir yang Terbunuh
Dilema yang Dihadap Iran
Setelah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ditambah dengan dugaan sabotase lokasi perakitan sentrifuse di Natanz dan pembunuhan jenderal tinggi Qassem Soleimani, Iran menghadapi dilema.
Jika memilih untuk tidak membalas dengan tetap membuka pintu diplomasi, Iran akan terlihat lemah dan mengundang lebih banyak serangan rahasia.
Tetapi jika Iran membalas dendam pada target Israel atau AS, Teheran bisa kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mencabut sanksi yang telah membuat ekonominya berantakan.
Pembalasan Iran "berisiko memicu reaksi berantai," ungkap Robert Malley, mantan pejabat senior di Gedung Putih Obama yang membantu merundingkan kesepakatan Iran.
"Israel dapat memilih untuk menanggapi dengan cara yang sama dan langkah semacam itu dapat semakin memperumit kembalinya AS ke perjanjian nuklir," tulis Malley, presiden lembaga pemikir International Crisis Group, baru-baru ini di Foreign Policy.
Langkah tersebut, menurutnya juga berpotensi menolak bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan Iran.
Dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, Iran harus mempertimbangkan bagaimana menjaga pejabat nuklirnya yang tersisa aman.
"Iran juga harus memikirkan bagaimana mencegah serangan di masa depan dan apakah pembalasan akan meningkatkan atau merusak prospek perjanjian diplomatik dengan pemerintahan Biden yang akan datang," kata mantan pejabat AS.
"Namun, pembunuhan ilmuwan nuklir Iran 10 tahun lalu tidak menghalangi Iran untuk melakukan diplomasi dengan Amerika Serikat dan pemerintah lain," kata David Albright, pendiri dan presiden Institut Sains dan Keamanan Internasional nirlaba.
Albright mengatakan, kematian Fakhrizadeh membuat Iran kehilangan sosok penting yang mahir dalam mengelola dan mengatur pekerjaan nuklir yang sensitif.
"Jika Iran memilih untuk terburu-buru membangun bom, itu akan menjadi tempat yang tepat untuk membangun perangkat untuk meledak di bawah tanah," kata Albright.
"Saya tidak berpikir mereka akan kesulitan melakukan itu dan itu tidak akan memakan waktu lama," katanya.
"Saya pikir dampaknya akan lebih terasa jika mereka harus membangun hulu ledak nuklir yang akan bekerja di atas rudal balistik," kata Albright.
Seorang mantan pejabat senior intelijen AS mengatakan "pembangunan program persenjataan nuklir melibatkan lebih dari sekadar fisika, karena melibatkan pembangunan perusahaan personel, gedung dan peralatan yang luas dan rahasia".
"Fakhrizadeh memiliki pengalaman itu serta kemampuan untuk bekerja dengan kepemimpinan teknis dan pertahanan," kata pejabat itu.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)