Presiden Iran Hassan Rouhani Tuduh Israel Ingin Picu Perang Besar di Timur Tengah
Presiden Iran Hassan Rouhani menyebut pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh upaya Israel menyeret Timur Tengah ke perang besar.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Presiden Iran, Hassan Rouhani, menuduh Israel hendak menyeret kawasan Timur Tengah ke perang besar.
Pembunuhan ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh adalah provokasi Israel untuk rencana, yang sedianya dipicu di sisa pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Pernyataan disampaikan Rouhani saat konferensi pers di Teheran, Senin (14/12/2020). Hassan Rouhani menyoroti prioritas utama Iran saat ini adalah memastikan keamanan dan stabilitas kawasan.
“Mengobarkan ketidakstabilan dan perang di hari-hari terakhir pemerintahan Trump adalah tujuan utama rezim Zionis dalam pembunuhan (Fakhrizadeh) itu," kata Rouhani seperti diwartakan Russia Today, Selasa (15/12/2020) WIB.
Baca juga: Pesawat Bomber Amerika Dikerahkan ke Timur Tengah untuk Awasi Iran
Baca juga: IRGC:Ilmuwan Nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh Dibunuh dengan Senjata Canggih yang Dikendalikan Satelit
Baca juga: Pejabat AS Sebut Israel di Balik Pembunuhan Ilmuwan Iran Mohsen Fakhrizadeh
Pemimpin Iran itu berjanji membalas dendam atas pembunuhan Fakhrizadeh, tetapi mengatakan mereka akan menunggu sampai waktu dan tempat yang tepat, agar tidak mengguncang kawasan.
Fakhrizadeh terbunuh pada 27 November 2020 ketika konvoinya diserang di sebuah jalan raya 175 kilometer dari Teheran.
Iran secara cepat menuduh Israel melakukan operasi pembunuhan itu. Orang-orang yang dituduh terlibat dalam serangan itu telah ditangkap.
Fakhrizadeh adalah Kepala Badan Riset dan Inovasi Pertahanan Iran. Ia dipandang sebagai tokoh kunci dalam program nuklir negara itu. Israel sejauh ini belum merilis komentar resmi atas insiden tersebut.
Selama konferensi pers, Rouhani juga membahas masalah Amerika yang membatalkan kesepakatan nuklir Iran.
Iran, menurut Rouhani, bersedia bekerja dengan pemerintahan Biden-Harris, jika dia mengoreksi kebijakan Trump.
Tapi Presiden Iran mengatakan negaranya tidak akan menerima prasyarat apa pun dan kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) tidak terbuka untuk negosiasi ulang.
Ia memberi tahu AS satu-satunya pilihan adalah bagi Amerika untuk bergabung kembali dengan proposal awal.
Jika AS menerima persyaratan itu dan mencabut sanksi yang diberlakukan pemerintahan Trump, Iran akan mematuhi aturan asli yang diterapkan padanya tanpa penundaan.
Iran juga tidak akan merundingkan program misil atau kegiatan regionalnya dengan AS dan pemerintahan barat lain.
AS dan Eropa dalam beberapa pekan terakhir menyatakan berkomitmen merevitalisasi kesepakatan nuklir, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Presiden Donald Trump memutuskan AS menarik diri secara sepihak dari JCPOA pada 2018. Namun kesediaan AS dan Eropa itu disertai prasayarat Iran mau merundingkan program rudalnya.
AS dan Eropa menuduh Iran telah membuat ketidakstabilan Timur Tengah.
“Kami tidak akan menerima prasyarat dari siapa pun. JCPOA juga tidak bisa dinegosiasikan, kita juga tidak bisa meletakkannya di meja perundingan dan membahasnya bagian per bagian,” kata Rouhani yang jumpe persnya disiarkan televisi.
“Apakah semua orang akan menerapkan JCPOA sebagaimana adanya atau tidak. Jika mereka melakukannya, kami juga akan melakukannya," tegasnya.
Dalam wawancara dengan Der Spiegel awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menyarankan perjanjian nuklir plus diperlukan. Plus yang dimaksud soal program rudal (nonnuklir) Iran.
Tapi Rouhani bersikukuh masalah ini tidak ada hubungannya dengan kesepakatan nuklir dan tidak bisa disinggung.
“Mereka telah berbicara dengan kami tentang ini sebelumnya. Ketika P5 + 1 berbicara dengan kami sebagai bagian dari JCPOA, mereka membahas semua ini,” kata Rouhani mengacu JCPOA yang ditandatangani AS, Prancis, Inggris, China, Rusia, dan Jerman.
“AS mencoba selama berbulan-bulan untuk memasukkan program rudal dan kami memberi tahu mereka itu tidak bisa dinegosiasikan. Mereka mencoba berbulan-bulan untuk memasukkan masalah regional juga. Mereka semua didiskusikan dan ditolak,” tegas Rouhani.
Presiden Iran mengatakan Trump tidak mengetahui hal ini, tetapi Presiden terpilih Joe Biden, yang merupakan Wakil Presiden AS ketika JCPOA ditandatangani di bawah Presiden Barack Obama, ada di sana dan mengetahui semua ini.
"Apa yang bisa dipertimbangkan adalah bahwa setiap orang akan kembali ke komitmen penuh mereka," kata Rouhani.
Setahun setelah Trump meninggalkan kesepakatan nuklir dan menjatuhkan sanksi ekonomi yang keras terhadap Iran, pemerintahan Rouhani mulai secara bertahap mengurangi komitmennya di bawah kesepakatan nuklir.
Iran juga menyatakan Eropa dan penandatangan JCPOA lainnya gagal memenuhi komitmen mereka karena mereka menahan diri untuk tidak berurusan dengan Iran karena takut akan pembalasan AS.
Namun, Rouhani tampaknya menurunkan tensi soal kompensasi yang harus diberikan atas sanksi AS pascamenarik diri dari JCPOA.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)