Radikalisme di AS Setelah Serbuan ke Capitol Hill dan Pelantikan Biden-Harris
Pengamanan super ketat ini menjawab kekhawatiran FBI dan dinas rahasia AS terkait potensi gangguan keamanan dalam skala serius.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Tak kurang 20.000 prajurit Garda Nasional saat ini mengamankan Washington, ibukota AS jelang pelantikan Joe Biden-Kamala Harris sebagai Presiden dan Wapres AS.
Jumlah itu tak termasuk belasan ribu polisi, kontraktor keamanan swasta, dan juga potensi Badan Darurat Federal (FEMA).
Kompleks Capitol Hill, Monumen Nasional, dan Gedung Putih di Washington DC disekat-sekat berdasarkan zona hijau dan zona merah.
Banyak jalan ditutup atau dialihkan. Izin masuk ke kawasan-kawasan yang akan dijadikan lokasi pelantikan dan prosesi kenegaraan sangat ketat.
Pengamanan super ketat ini menjawab kekhawatiran FBI dan dinas rahasia AS terkait potensi gangguan keamanan dalam skala serius jelang dan saat pelantikan Biden-Harris.
Para ahli, termasuk mantan komandan perang AS di Irak dan Afghanistan, Jenderal (Purn) Stanley Chrystal, mengkhawatirkan radikalisme dan ekstremisme dalam jangka panjang.
"Plot masa depan benar-benar sedang dibuat sekarang," kata Oren Segal, Wakil Presiden Pusat Ekstremisme Liga Anti-Pencemaran Nama Baik, kepada CNN, Minggu (17/1/2021).
Baca juga: Jelang Pelantikan Joe Biden, Keamanan di Seluruh AS Diperketat, Garda Nasional hingga FBI Bekerja
Baca juga: Jelang Pelantikan Biden-Harris, Zona Hijau Ala Baghdad Diterapkan di Washington
Baca juga: Buntut Kerusuhan Capitol AS, Trump Kembali Dimakzulkan, Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Para ahli berbagi keprihatinan yang berkembang terkait hak-hak yang dirugikan oleh mereka yang berkuasa, termasuk sistem politik ‘big tech’.
Pemberontakan di Capitol Hill saat pengesahan hasil electoral vote yang memenangkan Biden, jadi awal petaka demokrasi di AS.
Raksasa media sosial memblokir secara permanen akun-akun Presiden Donald Trump, yang dianggap postingannya menghasut dan memicu kekerasan.
Risiko Radikalisasi Akibat Kebijakan Big Tech
Kebijakan ini oleh sebagian kalangan memunculkan simpati tinggi, dan semakin banyak pengguna berisiko mengalami radikalisasi.
Beberapa yang pernah berkomunikasi melalui Facebook, Twitter atau bahkan Parler sekarang ada di platform lain.
Itu termasuk Telegram, di mana ekstremis dan saluran supremasi kulit putih telah ada dan memuntahkan kebencian selama bertahun-tahun di saluran yang sebagian besar tidak dimoderasi.