Ribuan Petani di India Gelar Demo Akbar dengan Mengendarai Traktor, 1 Orang Tewas
Puluhan ribu petani di India melakukan aksi demo sembari mengendarai traktor di Ibukota India, Selasa (26/1/2021).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Puluhan ribu petani di India melakukan aksi demo sembari mengendarai traktor di Ibukota India, Selasa (26/1/2021).
Dilansir Associated Press, massa menerobos barikade polisi, menerjang gas air mata, hingga menyerbu Benteng Merah di tengah perayaan Hari Republik di India.
Para petani mengibarkan bendera serikat petani dan bendera agama di benteng tersebut.
Diketahui setiap tahun di hari kemerdekaan, Perdana Menteri India Narendra Modi selalu mengibarkan bendera di Benteng Merah itu.
Ribuan petani berjalan kaki sembari berbaris dan menunggang kuda sambil meneriakkan slogan menentang Perdana Menteri Modi.
Di sejumlah lokasi, para petani dihujani kelopak bunga oleh warga sekitar yang merekam aksi unjuk rasa tersebut.
Baca juga: Sekeluarga Terbunuh di Indianapolis, Seorang Remaja Berluka Tembak Lolos dari Maut
Baca juga: Kebakaran Terjadi di Pabrik Vaksin Covid-19 di India, 5 Orang Tewas
Polisi menyebut ada seorang pengunjuk rasa yang tewas karena traktornya terbalik.
Namun para petani menyangkal dan mengatakan bahwa korban tewas karena ditembak.
Para pengunjuk rasa sempat meletakkan tubuh pengunjuk rasa yang tewas itu di jalanan setelah meletakkannya di sisi bendera India dan duduk mengelilinginya.
Saluran televisi menunjukkan beberapa pengunjuk rasa berlumuran darah.
Para pemimpin petani mengatakan lebih dari 10.000 traktor ikut serta dalam protes.
Selama hampir dua bulan, para petani yang kebanyakan berasal dari Sikh negara bagian Punjab dan Haryana, berkemah di pinggir ibu kota untuk memblokir jalan raya dan melakukan aksi protes pada pemerintah.
Mereka menuntut penarikan undang-undang baru yang menurut mereka akan mengkomersilkan pertanian dan menghancurkan pendapatan petani.
"Kami ingin menunjukkan kepada Modi kekuatan kami," kata Satpal Singh, seorang petani yang mengendarai traktor ke ibu kota bersama lima anggota keluarganya.
"Kami tidak akan menyerah."
Baca juga: 5 Orang Tewas dalam Kebakaran di Serum Institute of India, Pusat Produksi Vaksin Terbesar di Dunia
Baca juga: Warga di Desa Thulasendrapuram India Bangga Kamala Harris Jadi Wakil Presiden Amerika Dampingi Biden
Polisi anti huru hara menembakkan gas air mata dan meriam air untuk memecah kerumunan yang berusaha merusak barikade beton dan baja.
Pihak berwenang memblokir jalan dengan truk dan bus besar dalam upaya menghentikan para petani mencapai pusat ibu kota.
"Kami akan melakukan apa yang kami inginkan. Anda tidak bisa memaksakan hukum Anda pada orang miskin," kata Manjeet Singh, salah seorang petani.
Imbasnya, beberapa stasiun kereta metro dan layanan internet di sejumlah daerah di ibu kota dilumpuhkan untuk menggagalkan protes.
Pemerintah bersikeras undang-undang reformasi pertanian yang disahkan Parlemen pada September lalu akan menguntungkan petani dan meningkatkan produksi melalui investasi swasta.
Aksi serupa sempat meledak pada November tahun lalu, namun berhasil ditahan polisi.
Sejak saat itu, para petani bersembunyi di pinggiran kota dan mengancam akan melakukan pengepungan bila undang-undang tidak dicabut.
Pemerintah telah menawarkan untuk mengubah undang-undang dan menangguhkan penerapannya selama 18 bulan.
Tetapi para petani bersikeras undang-undang harus dicabut total.
Bahkan mereka berencana berjalan kaki ke Parlemen pada 1 Februari, ketika ada anggaran baru negara.
Protes akbar para petani ini membayangi perayaan Hari Republik, di mana PM Modi menonton parade tradisional di sepanjang jalan raya Rajpath yang menampilkan kekuatan militer negara dan keragaman budaya.
Hari Republik menandai peringatan adopsi konstitusi negara pada 26 Januari 1950.
Petani adalah kelompok terbaru yang mengganggu citra Modi tentang dominasi yang tak tergoyahkan dalam politik India.
Sejak kembali berkuasa untuk masa jabatan kedua, pemerintahan Modi telah diguncang oleh beberapa gangguan.
Ekonomi merosot, perselisihan sosial meluas, protes meletus terhadap undang-undang yang diskriminatif, dan pemerintahannya dipertanyakan soal tanggapan terhadap pandemi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)