Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gelombang Unjuk Rasa dan Mogok Kerja Semakin Meluas di Myanmar

Aksi unjuk rasa yang terjadi pada Minggu (7/2/2021) adalah yang terbesar sejak Revolusi Kunyit 2007 yang dipimpin oleh biksu Buddha.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Gelombang Unjuk Rasa dan Mogok Kerja Semakin Meluas di Myanmar
YE AUNG THU / AFP
Seorang pengunjuk rasa mengacungkan salam tiga jari saat polisi memblokir jalan selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 6 Februari 2021. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, YAGON - Gelombang protes unjuk rasa kudeta militer di Myanmar dan mogok kerja berlangsung Senin (8/2/2021), setelah puluhan ribu orang bergabung dalam demonstrasi akhir pekan menentang pencopotan dan penahanan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi seminggu yang lalu.

Reuters melaporkan Senin (8/2/2021), aksi unjuk rasa yang terjadi pada Minggu (7/2/2021) adalah yang terbesar sejak Revolusi Kunyit 2007 yang dipimpin oleh biksu Buddha yang membantu mendorong reformasi demokrasi.

"Para pawai dari setiap sudut Yangon, silakan keluar dengan damai dan bergabung dengan pertemuan rakyat," kata aktivis Ei Thinzar Maung yang diposting di Facebook, menggunakan jaringan VPN untuk menggalang demonstran meskipun ada upaya junta untuk melarang jaringan media sosial.

Baca juga: Selain Lagu Bang Jago, Ternyata Rakyat Myanmar Penikmat Lagu-lagu Indonesia, Ini Buktinya

Baca juga: Biden Tegas Minta Militer Myanmar Melepaskan Kekuasaan dan Bebaskan Pejabat yang Ditahan

Lokasi dan waktu akan diumumkan kemudian, kata mantan pemimpin mahasiswa, yang telah muncul sebagai salah satu wajah gerakan protes baru.

Sejauh ini pertemuan rakyat berlangsung damai, tidak seperti tindakan keras berdarah selama protes meluas sebelumnya pada tahun 1988 dan 2007.

Konvoi truk militer terlihat melintas ke Yangon akhir hari Minggu, menimbulkan ketakutan yang bisa berubah.

BERITA TERKAIT

Reuters belum dapat menghubungi junta untuk mengomentari aksi protes yang meluas di Myanmar.

Belasan orang yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Urban Poor Consortium melakukan aksi solidaritas mengecam kudeta militer yang terjadi di Myanmar, di depan Kedubes Myanmar, Jakarta Pusat, Jumat (5/2/2021). Dalam aksinya, pendemo membawa spanduk dan poster kecaman kudeta yang dilakukan militer Myanmar. Mereka juga membuat kebisingan dengan memukulkan kaleng serta alat dapur dan melepaskan burung merpati sebagai tanda solidaritas dan protes seperti yang dilakukan masyarakat Myanmar. Tribunnews/Herudin
Belasan orang yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Urban Poor Consortium melakukan aksi solidaritas mengecam kudeta militer yang terjadi di Myanmar, di depan Kedubes Myanmar, Jakarta Pusat, Jumat (5/2/2021). Dalam aksinya, pendemo membawa spanduk dan poster kecaman kudeta yang dilakukan militer Myanmar. Mereka juga membuat kebisingan dengan memukulkan kaleng serta alat dapur dan melepaskan burung merpati sebagai tanda solidaritas dan protes seperti yang dilakukan masyarakat Myanmar. Tribunnews/Herudin (Tribunnews/Herudin)

Panggilan untuk Penghentian Kerja

Pemerintah mencabut larangan internet sepanjang hari pada akhir pekan yang mendorong lebih banyak kemarahan di negara yang takut kembali ke isolasi dan bahkan kemiskinan yang lebih besar sebelum transisi ke demokrasi dimulai pada 2011.

Aktivis Maung Saungkha dan Thet Swe Win memposting di halaman Facebook bahwa polisi telah mencari mereka di rumah mereka, tetapi mereka tidak ada di sana dan masih bebas.

Selain protes jalanan, kampanye pembangkangan sipil telah dimulai, pertama dengan dokter dan bergabung dengan beberapa guru dan pekerja pemerintah lainnya.

"Kami meminta pengawai pemerintah dari semua departemen untuk tidak masuk kerja mulai Senin," kata aktivis Min Ko Naing, seorang veteran demonstrasi pada tahun 1988 yang pertama kali membawa Suu Kyi menjadi terkenal.

Dia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 karena mengkampanyekan demokrasi, dan menghabiskan hampir 15 tahun di bawah tahanan rumah selama beberapa dekade berjuang untuk mengakhiri hampir setengah abad pemerintahan militer.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas