Batasi Akses Internet hingga Blokir Konten, RUU Cyber Pemerintah Militer Myanmar Dinilai Langgar HAM
Pemerintah militer Myanmar mengusulkan RUU Cyber yang membatasi akses internet hingga memblokir konten yang melanggar. RUU itu dinilai melanggar HAM.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Gigih
Netblocks melaporkan platform media sosial tidak dapat diakses hingga Minggu (7/2/2021) menjelang sore.
Namun kemudian warga yang menggunakan layanan dengan MPT, Ooredoo, Telenor and Mytel dapat mengakses data internet seluler dan Wi-Fi.
"Pemulihan sebagian konektivitas Internet dikonfirmasi di #Myanmar mulai pukul 14.00 waktu setempat pada beberapa penyedia layanan (provider) setelah pemadaman informasi," tulis organisasi pemantau keamanan siber, Netblocks di laman Twitter-nya, @netblocks.
Diketahui, pemblokiran dianggap tidak dapat meredam aksi protes demonstran sehingga pemulihan sebagian akses internet dilakukan.
Adapun pada hari kedua, warga yang mengikuti aksi protes terhadap kudeta militer semakin banyak.
Para demonstran memakai baju merah, bendera merah dan balon merah, yang mana warna tersebut adalah simbol yang mewakili Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Joe Biden Umumkan Sanksi Baru AS Terhadap Para Jenderal Myanmar yang Lakukan Kudeta
Dalam aksi tersebut, para demonstran serentak meneriakkan 'kami tidak ingin kediktatoran militer, kami ingin demokrasi'.
Kerumunan besar-besaran itu dari seluruh penjuru Yangon berkumpul di kota-kota dan menuju ke Pagoda Sule di jantung pusat Kota Yangon, juga titik kumpul pada protes 2007 yang dipimpin biksu Buddha dan lainnya pada tahun 1988.
Sederet polisi bersenjata dengan perisai keamanan mendirikan barikade, tetapi tidak mencoba menghentikan demonstrasi.
Beberapa demonstran menghadiahi polisi dengan bunga sebagai tanda perdamaian.
Para demonstran juga memberi hormat dengan tiga jari yang telah menjadi simbol protes terhadap kudeta.
Sementara para pengemudi kendaraan membunyikan klakson dan penumpang mengangkat foto pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
"Kami tidak ingin hidup di bawah sepatu bot militer," kata demonstran Ye Yint (29).
"Kami tidak ingin kediktatoran untuk generasi berikutnya," kata demonstran Thaw Zin (21).