Sekjen PBB Tuntut Militer Myanmar Segera Hentikan Penindasan Warga Penentang Kudeta
Guterres mendesak militer untuk segera menghentikan penindasan dan membebaskan tahanan yang ditahan sejak kudeta
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JENEWA -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (22/2/2021) mengutuk "tindakan brutal" militer terhadap warga yang menentang kudeta di Myanmar.
Guterres mendesak militer untuk segera menghentikan penindasan dan membebaskan tahanan yang ditahan sejak kudeta terjadi 1 Februari lalu.
Hal itu disampaikan Guterres dalam pidato tahunannya kepada Dewan HAM PBB, Senin (22/2/2021), seperti dilansir AP dan Channel News Asia.
Baca juga: Ribuan Orang di Myanmar Hadiri Pemakaman Demonstran yang Tewas Ditembak di Kepala
"Hari ini, saya menyerukan kepada militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan," katanya, berbicara dalam pesan video yang direkam sebelumnya pada pembukaan sesi ke-46 dewan yang berbasis di Jenewa itu.
"Bebaskan para tahanan. Akhiri kekerasan. Hormati hak asasi manusia, dan keinginan rakyat yang diungkapkan dalam pemilu baru-baru ini," ujarnya.
Baca juga: Myanmar di Tengah Aksi Mogok Massal untuk Lawan Kudeta Militer
Dia tegaskan, "kudeta tidak memiliki tempat di dunia modern".
Hingga hari ini warga Myanmar masih melakukan aksi protes dan kampanye pembangkangan sipil besar-besaran dan sebagian besar berlangsung damai yang menuntut kembalinya pemimpin sipil yang digulingkan junta militer, Aung San Suu Kyi.
Sabtu pekan lalu (20/2/2021) menjadi hari paling mematikan sejak kudeta 1 Februari, dengan dua orang tewas setelah pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di Mandalay dan seorang pria ketiga ditembak mati di Yangon.
Baca juga: Protes Anti-Kudeta Myanmar: 2 Orang Dilaporkan Tewas, Lainnya Cedera
Junta memperingatkan para demonstran agar tidak menghasut orang "ke jalur konfrontasi di mana mereka akan menderita kehilangan nyawa".
Namun para demonstran pada Senin (22/2/2021) tidak terpengaruh oleh peringatan militer itu, dengan puluhan ribu pengunjuk rasa di Yangon, pusat kota dan komersial, mereka tetap menggelar aksi protes terbesar di Myanmar.
Guterres juga mengutuk "tindakan kekerasan mematikan" yang dilakukan militer pada Sabtu (20/2/2021).
"Penggunaan kekerasan mematikan, intimidasi dan penindasan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima," tegas Guterres dalam sebuah tweetnya pada Minggu (21/2/2021).
Kementerian luar negeri Myanmar ‘memukul balik’, menuduh PBB dan sejumlah negara asing melakukan "campur tangan " dalam urusan internalnya.